Gen Z di Ambang 'Kiamat Kerja' Gegara Ledakan Teknologi AI

CNN Indonesia
Senin, 13 Okt 2025 12:00 WIB
Sebuah studi mengungkap pekerja dari kalangan Gen Z, tengah berada di ambang 'kiamat kerja' imbas ledakan adopsi teknologi AI. (Foto: iStock/jacoblund)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sebuah studi mengungkap pekerja usia muda, yang berisi kelompok Gen Z, tengah berada di ambang 'kiamat kerja' imbas ledakan adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) di perusahaan.

Laporan dari British Standards Institution (BSI) memaparkan bahwa para pimpinan perusahaan memprioritaskan otomatisasi melalui AI untuk mengisi kebutuhan perusahaan daripada melatih anggota staf junior. Opsi ini juga dipilih karena memungkinkan mereka mengurangi jumlah karyawan.

Empat dari 10 bos perusahaan (sekitar 41 persen), mengatakan bahwa AI memungkinkan mereka untuk mengurangi jumlah karyawan, dalam survei yang melibatkan lebih dari 850 pemimpin bisnis di tujuh negara. Negara yang disurvei mulai dari Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Australia, China, hingga Jepang.

Hampir sepertiga (31 persen) responden mengatakan bahwa organisasinya mempertimbangkan solusi AI sebelum mempertimbangkan untuk mempekerjakan seseorang, dengan dua dari lima responden memperkirakan hal ini akan terjadi dalam lima tahun ke depan.

Laporan ini menunjukkan tantangan yang harus dihadapi pekerja generasi Z, mereka lahir antara tahun 1997 dan 2012, di tengah pasar tenaga kerja yang tengah lesu.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa seperempat pemimpin perusahaan yakin semua atau sebagian besar tugas yang dilakukan oleh rekan kerja tingkat pemula dapat dilakukan oleh AI.

"AI mewakili peluang besar bagi bisnis secara global, tetapi saat mereka mengejar produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi, kita tidak boleh melupakan bahwa pada akhirnya, manusia lah yang mendorong kemajuan," ujar Susan Taylor Martin, CEO BSI, dikutip dari The Guardian.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa ketegangan antara memaksimalkan potensi AI dan memastikan tenaga kerja yang berkembang pesat merupakan tantangan utama zaman ini. Diperlukan pemikiran jangka panjang dan investasi dalam tenaga kerja, bersamaan dengan investasi dalam alat AI, untuk memastikan pekerjaan yang berkelanjutan dan produktif," tambahnya.

Lebih lanjut, dua per lima (39 persen) pemimpin perusahaan mengatakan posisi entry-level telah dikurangi atau dihapus sebagai dampak dari efisiensi yang dihasilkan dari implementasi alat AI untuk melakukan penelitian atau melaksanakan tugas administratif dan briefing.

Meski lebih dari setengah responden merasa beruntung telah memulai karier mereka sebelum penggunaan AI menjadi luas, lebih dari setengah (53 persen) juga yakin manfaat implementasi AI di perusahaan akan melebihi gangguan yang ditimbulkan pada tenaga kerja.

Menurut para pemimpin bisnis yang disurvei, AI sedang diadopsi dengan cepat oleh bisnis di Inggris. Tiga perempat (76 persen) responden mengatakan mereka mengharapkan alat-alat baru tersebut akan memberikan manfaat nyata bagi organisasinya dalam 12 bulan ke depan.

Bisnis-bisnis ini mengatakan mereka berinvestasi dalam AI untuk berbagai hal, terutama meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta mengurangi biaya dan mengisi kesenjangan keterampilan.

Analisis BSI terhadap laporan tahunan perusahaan menunjukkan bahwa kata "otomatisasi" muncul hampir tujuh kali lebih sering daripada "peningkatan keterampilan" atau "pelatihan ulang".

Survei terpisah yang baru-baru ini dilakukan Kongres Serikat Pekerja menunjukkan bahwa setengah dari masyarakat usia dewasa di Inggris khawatir tentang dampak AI terhadap pekerjaan mereka, takut AI dapat mengambil alih atau mengubah pekerjaan mereka.

Pasar tenaga kerja Inggris telah melambat dalam beberapa bulan terakhir dan pertumbuhan upah juga melambat. Tingkat pengangguran resmi Inggris kini mencapai 4,7 persen, level tertinggi dalam empat tahun.

Namun, sebagian besar ekonom tidak yakin masalah ini berkaitan dengan percepatan investasi dalam AI.

(lom/dmi)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK