CNN INDEPTH

AI dan Kolonialisasi Pola Makan: Ketika Nasi Uduk Dianggap Dosa

Roni Satria | CNN Indonesia
Kamis, 13 Nov 2025 16:00 WIB
Aplikasi diet berbasis AI cenderung memiliki bias lintas budaya, sehingga keakuratan data lebih berpihak pada pola makanan barat.
Aplikasi diet berbasis AI cenderung melebihkan estimasi kalori pada makanan Barat hingga lebih dari seribu kilojoule, tapi meremehkan kalori pada makanan Asia lebih dari seribu lima ratus kilojoule. (Istockphoto/Hanafichi)

Perspektif di atas menunjukkan algoritma membentuk selera dan definisi sehat. Pengguna percaya karena hasil terukur. Akademisi mengingatkan bias struktural. Klinisi menegaskan dampak fisiologis.

Pertanyaannya kemudian bergeser menjadi: apa yang terjadi di tingkat infrastruktur data dan industri lokal?

Gits.id, perusahaan pengembang solusi digital yang banyak mengerjakan proyek berbasis kecerdasan buatan di sektor publik dan kesehatan, melihat masalah bias algoritmik dari sisi infrastruktur data.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

CEO-nya, Ibnu Sina Wardy, menjelaskan bahwa langkah kunci membangun sistem AI diet yang adil terletak pada fondasi data.

"Informasi gizi lokal harus disusun secara terstruktur, termasuk teknik memasaknya, karena cara olah sangat memengaruhi profil gizi akhir," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa tantangan teknis terbesar ada pada tahap anotasi data, karena varian masakan Indonesia begitu banyak dan setiap daerah punya perbedaan istilah serta bahan.

Ia menyebut proses ini sebagai tahap paling berat sekaligus penentu kualitas model.

Tantangan utamanya bukan interoperabilitas dengan standar global, melainkan minimnya data lokal yang lengkap dan siap pakai untuk pembelajaran mesin.

Ibnu menegaskan bahwa Gits.id menjalankan validasi manusia (human-in-the-loop) dalam audit keadilan dengan melibatkan ahli dan perwakilan komunitas untuk memeriksa hasil AI.

Sikap ini menunjukkan bahwa bias bukan semata kesalahan mesin, tetapi lahir dari kemiskinan data dan belum mapannya praktik produksi pengetahuan di tingkat nasional.

Sementara, Bloom360, platform kesehatan dan nutrisi digital yang dikembangkan di Indonesia, mencoba menata ulang hubungan antara data dan budaya makan. Co-founder-nya, Dien Limano, lebih optimistis.

"Basis data kami bersifat dinamis. Pengguna bisa menambahkan makanan Indonesia dan sistem akan menampilkan data nutrisinya," ujarnya.

"Jika makanan belum ada di database, AI kami akan mencari dan menarik data dari berbagai sumber terpercaya di internet," kata Dien lagi.

Di sinilah paradoksnya. Adaptasi lokal berjalan, tetapi pintunya masih sering kembali ke sumber global.

Pada saat yang sama, Dien melihat kesadaran baru tumbuh. Pengguna mulai memahami bahwa makanan rumahan pun bisa mendukung hidup sehat selama proporsinya tepat.

Arah ini sejalan dengan temuan riset gizi internasional yang menunjukkan bahwa perubahan pola makan akan lebih berhasil jika selaras dengan budaya masyarakat.

Salah satu telaah terbaru dari Nutrition Evidence Systematic Review (NESR) untuk Komite Pedoman Gizi Amerika 2025 juga menegaskan hal serupa.

Mereka menemukan bahwa intervensi gizi yang disesuaikan dengan kebiasaan dan makanan tradisional jauh lebih mudah diterima dan bertahan lama dibanding pola makan yang diimpor mentah dari budaya lain.

Menguji Keadilan di Balik Data

Argumentasi etis memerlukan pendasaran lebih luas. Literatur tentang bias AI di bidang kesehatan telah menunjukkan pola berulang.

Sistem cenderung memperkuat ketimpangan yang sudah ada ketika data latih tidak mewakili populasi secara utuh. Model akan salah klasifikasi atau mengabaikan pola pada kelompok yang kurang terwakili.

Temuan ini ditegaskan dalam studi Chen et al. (2024) yang dipublikasikan di Frontiers in Artificial Intelligence, yang menunjukkan bahwa bias algoritmik pada data medis global sering memperburuk kesenjangan diagnosis antara populasi Barat dan non-Barat.

Kekeliruan semacam itu berbahaya di negara dengan infrastruktur layanan yang masih rapuh.

Indonesia berada dalam situasi ini. Digitalisasi kesehatan dan gizi sering dianggap sebagai lompatan efisiensi, padahal tanpa fondasi data yang merata, proses itu dapat sekaligus mengimpor bias dari luar.

Kebijakan publik menjadi ruang uji berikutnya. Pemerintah mulai menyoroti kembali persoalan gizi melalui berbagai inisiatif, dari program intervensi makan bergizi hingga pelabelan kandungan garam, gula, dan lemak pada produk makanan.

Arah ini menunjukkan kesadaran bahwa persoalan pangan tidak cukup diserahkan pada individu atau aplikasi, melainkan memerlukan tata kelola data dan edukasi publik yang berpihak pada konteks lokal.

Namun, keberhasilan kebijakan itu bergantung pada kemampuan sistem mengenali keragaman pangan Indonesia sebagai dasar pengambilan keputusan.

Transparansi juga menjadi bagian dari tanggung jawab publik. Cara paling sederhana untuk memeriksa klaim objektivitas aplikasi diet adalah dengan menguji keluarannya.

Tabel Komposisi Pangan Indonesia yang disusun Kementerian Kesehatan bisa dijadikan rujukan. Dengan membandingkan hasil rekomendasi AI terhadap data gizi resmi untuk makanan Nusantara, publik dan peneliti dapat menilai sejauh mana algoritma menghargai keragaman lokal tanpa harus membuka kode sumber yang dilindungi.

Perubahan tidak selalu menunggu kebijakan besar. Banyak hal bisa dimulai dari dapur sendiri. Resep dan teknik memasak tradisional perlu didokumentasikan bukan hanya sebagai cerita, tetapi sebagai data.

Komposisi gizi bahan lokal dan hasil olahannya penting dilengkapi agar dapat diakses oleh pengembang teknologi dan lembaga riset. Mekanisme pelaporan bias pada aplikasi diet juga perlu dibuka bagi pengguna umum. Pengembang lokal dapat melakukan audit data secara berkala, melibatkan ahli dan komunitas kuliner untuk memverifikasi hasil sistem. Kampus dan asosiasi profesi gizi bisa memastikan mutu ilmiah tetap terjaga. Langkah-langkah ini tidak rumit, namun menjadi fondasi agar mesin belajar dari dapur sendiri, bukan serta merta menyalin dari dapur orang lain.

Perubahan bahasa juga penting. Alih-alih menjelekkan makanan tradisional, kerangka edukasi perlu memindahkan percakapan ke porsi, frekuensi, dan cara olah.

Hal ini sejalan dengan pendekatan klinis yang menolak label ekstrem. Masyarakat berhak atas rekomendasi yang menghormati konteks budaya dan ekonomi.

Protein mahal di banyak daerah. Sumber nabati lokal dan lauk sederhana mestinya dihargai sebagai jalan yang masuk akal, bukan kompromi kelas bawah.

Kembali ke Meja Makan

Pada akhirnya, inti persoalan bukan perang antara tim santan dan tim salad. Intinya kedaulatan pengetahuan tentang tubuh dan makan.

AI bisa menjadi alat yang berguna jika kita menyiapkan data yang adil dan memberi pagar etika yang jelas. Namun AI juga bisa menjadi mesin penghapus memori jika definisi sehat dirumuskan sepihak oleh data yang tidak pernah kita tulis.

Jalan tengahnya menuntut kerja rapi. Mengisi kekosongan data. Melatih model yang mengerti dapur Nusantara. Menguji aplikasi yang beredar. Membangun kebiasaan baru yang menghargai rasa sekaligus akal sehat.

Kita perlu memastikan mesin yang kita gunakan untuk hidup sehat tidak membuat kita lupa siapa diri kita di meja makan.

(vws)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER