Pagi rasanya belum sempurna tanpa nasi hangat dengan aroma santan gurih. Ritual sederhana itu kerap dijumpai di banyak rumah untuk menandai hari. Tapi di layar ponsel seorang mahasiswi, algoritma berbisik lain. "Ganti dengan oats." "Kurangi santan." "Pilih yogurt tanpa gula."
Dalam satu kalimat saran, warisan rasa yang dibentuk berabad-abad ditimbang sebagai kesalahan gizi.
Sang mahasiswi menurut. Ia mencatat kalori dan melihat grafik turun berat badannya dalam dua minggu. Hasilnya terasa nyata. Namun ada sesuatu yang tanpa disadari berubah. Rasa makanan yang biasanya akrab di lidah berubah jadi daftar makanan pengganti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Santan disarankan diganti krimer rendah lemak. Kerupuk dinilai kelebihan kalori. Makanan rumahan yang selama ini lekat dengan nostalgia dan kebersamaan bergeser menjadi rentetan angka dan peringatan.
Fenomena itu bukan cerita tunggal. Dua pengguna yang saya wawancarai mengulang pola serupa.
Yumna Haifa (18), mahasiswi, mengaku percaya penuh pada output AI karena dirasa begitu personal dan terbilang konsisten menghitung kalori hariannya. Ia dengan gamblang menyebut AI hampir jarang menyarankan makanan lokal.
Tri Artining Putri (37), profesional muda, menyiasati bias awal dengan menyempurnakan prompt. Ia meminta menu yang realistis untuk dapur Indonesia. AI mengikuti, tetapi logikanya tetap mendorong substitusi. Santan diganti produk industri rendah lemak. Camilan tradisional ditukar menjadi snack kemasan berlabel sehat. Kenyamanan memakai tool pintar ini membuat bias seolah normal.
Di balik segelintir cerita itu, ada realitas gizi nasional yang kompleks. Indonesia masih menghadapi beban ganda.
Satu dari tiga orang dewasa, hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas, menurut laporan UNICEF tahun 2024. Angka itu bukan sekadar statistik, tetapi tanda perubahan besar dalam pola makan dan persepsi sehat. Obesitas kini menjadi masalah umum di kota besar, sementara persoalan gizi buruk belum sepenuhnya selesai di pedesaan.
Sementara, estimasi Trading Economics 2024, lebih dari dua puluh juta orang dewasa atau sekitar 11 persen populasi produktif, hidup dengan diabetes. Angka ini berarti hampir di setiap lingkungan kerja atau kampus terdapat satu penderita. Lonjakan ini menggeser peta ancaman kesehatan nasional dari penyakit menular ke penyakit metabolik.
Tidak heran bila aplikasi diet berbasis AI cepat menjadi sandaran banyak orang yang ingin mengendalikan berat badan. Rasional memang, tapi berisiko jika alat yang digunakan berbasiskan data yang tidak mewakili konteks lokal.
Masalahnya pun berlanjut ke akurasi aplikasi diet yang bervariasi.
Berdasarkan temuan Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics 2024, aplikasi cenderung melebihkan kalori, keliru pada komponen makro, dan menampilkan ketidakkonsistenan antar-item.
Pada skala populasi, bias kecil yang berulang bisa mendorong perilaku makan yang salah arah.
Dimensi yang kemudian jarang disorot adalah bias lintas budaya. Sebuah studi terbaru oleh Xinyi Li et al. (2024) dalam jurnal Nutrients menemukan bahwa aplikasi diet berbasis AI cenderung melebihkan estimasi kalori pada makanan Barat hingga lebih dari seribu kilojoule, tapi meremehkan kalori pada makanan Asia lebih dari seribu lima ratus kilojoule.
Artinya, sistem ini lebih akurat untuk pola makan Barat dan keliru saat membaca pola makan Asia. Hal ini karena algoritma belajar dari data yang paling sering ia temui, sehingga menjadi "lebih pintar" terhadap menu seperti pasta atau salad dibanding nasi uduk, lodeh, atau rendang.
Indonesia, dengan ribuan resep yang tak pernah masuk database global, nyaris tak terbaca dalam logika sistem ini.
Helianti Hilman, pakar biodiversitas pangan dan pendiri Javara Indonesia, sebuah perusahaan sosial yang mengangkat produk dan pengetahuan pangan lokal ke pasar global, menyusunnya dalam kerangka besar.
Ia mengatakan dekolonialisasi pangan, harus menyentuh banyak sektor, termasuk AI. Apalagi berpotensi terjadi bias bila 'pelatihnya' minim data yang relevan.
"AI bisa di-train, tapi kalau tidak ada trainernya, terus gimana?" ucap Helianti.
Indonesia belum hadir sebagai pelatih pengetahuan lokal dalam skala yang berarti. Ia menambahkan "banyak tanaman endemik tidak hadir sebagai data etnobotani yang bisa dibaca mesin."
Helianti mengingatkan posisi historis. Bangsa penutur menyimpan pengetahuan kuliner lewat lisan, lagu, batik, tenun, dan pertunjukan. Ketika sistem asing yang rapi dan metodologis mampu mengukur dunia dengan kacamata sendiri, pengetahuan lokal menjadi tak terlihat di layar pencarian.
Dilema muncul.
Membuka data budaya tanpa perlindungan memicu pengambilalihan. Tapi, menutup rapat malah membuat aset tak dianggap karena di berada luar standar platform global.
Ayu Purwarianti, akademisi dan peneliti kecerdasan buatan dari Institut Teknologi Bandung memberi perspektif etika. Ia menyebut sumber bias datang dari data latih dan desain algoritma.
Namun publik sulit memeriksa karena.
"Kita tidak tahu data dokumen yang dilatihkan seperti apa, dan algoritma detailnya seperti apa," kata Ayu.
Prinsip transparansi seharusnya diterapkan, tapi ia mengakui bahwa perusahaan besar sulit membuka algoritma karena dianggap rahasia dagang.
"Kasus-kasus bias seperti ini menunjukkan pentingnya kemandirian AI yang dibangun menggunakan data sesuai nilai kita," ujarnya.
Menurutnya, upaya itu harus berjalan paralel mulai dari pengaduan kolektif terhadap bias, literasi AI bagi semua lapisan masyarakat, penerapan etika AI nasional, dan pembangunan model lokal.
Antropolog pangan dari Universitas Padjadjaran, Hardian Eko Nurseto menghubungkan fenomena ini dengan sejarah mediasi selera.
Dulu televisi menanamkan kebiasaan makan melalui sosok Julia Child di Amerika dan Sisca Soewitomo di Indonesia. Kini perannya diambil algoritma.
Arus informasi yang deras menggeser perspektif tentang sehat. Ketika standarnya cenderung Barat, konsumsi bahan impor meningkat dan pelestarian pangan lokal terancam.
"Perbanyak konten tentang pangan lokal, dan publikasi ilmiah tentang pangan dan kuliner lokal agar bisa menjadi sumber data bagi AI," sarannya.
Dimensi klinis yang sering terlupakan diungkap dokter spesialis gizi klinik, Mulianah Daya. Ia menolak logika yang membagi makanan secara hitam putih.
"Tidak ada makanan 'tidak sehat' dan sebaliknya tidak ada makanan yang berlabel 'si paling sehat'," kata Mulianah.
Baginya, pandangan biner seperti itu justru memperkuat kebiasaan algoritma diet yang menilai makanan lokal lewat kacamata tunggal. Labelisasi yang berlebihan kerap menimbulkan obsesi terhadap makanan yang dianggap benar atau "paling sehat", sebuah gejala yang di dunia medis dikenal sebagai orthorexia.
Akibatnya, banyak orang terlalu menghindari nasi, santan, atau lauk goreng tradisional tanpa pengganti yang tepat, hingga tubuh justru kekurangan zat gizi tertentu dan berlebih pada zat lain.
Fenomena food shame semacam itu, ketika makanan tradisional dianggap 'kampungan' dan tidak modern, perlahan melemahkan ketahanan pangan lokal.
Karena itu, ia menegaskan, "kehilangan makanan tradisional sama halnya dengan kehilangan kontrol atas sumber gizi kita sendiri dan kehilangan identitas bangsa."