Menkomdigi Dukung Wacana Pelarangan Thrifting, Siap Ikut Regulasi
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyebut pihaknya akan selaras dengan kebijakan besar pemerintah jika aktivitas penjualan barang bekas atau thrift dilarang.
"Tentu kalau memang aturannya pelarangan [berjualan thrift] ya kita juga akan mengikuti [untuk pasar online]. Jadi dari Komdigi pasti akan mengikuti dengan aturan besar keseluruhan dari pemerintah," ujarnya ketika ditanya soal penindakan penjual thrift online, Jakarta, Kamis (20/10).
Saat ditanya lebih lanjut bagaimana penindakan yang akan dilanjutkan, Meutya mengatakan hal tersebut akan disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital.
"Nanti lengkapnya ke Dirjen Pak Alex ya, bagaimana nanti akan diberi aturan pengawasan di ranah digital dan seperti apa pelaksanaannya," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri UMKM Maman menyampaikan pemerintah akan mendorong pedagang thrifting untuk beralih menjual produk lokal agar tetap memiliki penghasilan.
Menurut Maman, langkah itu diambil untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan barang impor bekas dan membuka peluang pasar baru bagi UMKM.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menginstruksikan Bea Cukai memperketat pengawasan terhadap impor pakaian bekas ilegal atau balpres serta menindak tegas para pelaku impor yang masih mencoba memasukkan barang-barang tersebut ke Indonesia.
Secara harafiah thrifting berasal dari kata bahasa Inggris 'thrift' yang bermakna penghematan. Belakangan, istilah ini digunakan untuk kebiasaan berbelanja baju atau barang bekas.
Di masa lampau--dan masih berlangsung pula saat ini--tempat jual beli barang bekas itu dikenal dengan istilah Pasar Loak. Merujuk pada fesyen, tren thrifting berawal dari kebutuhan dan berkembang menjadi gaya hidup sejak 1980-an.
Fenomena ini kemudian populer di sejumlah kota besar misalnya Bandung dengan Cimol (kemudian pindah ke Tegalega, lalu pindah lagi ke Gedebage), atau Jakarta dengan Poncol di Senen dan Jembatan Item di Jatinegara.
CNNIndonesia.com pernah menulis, bila menilik sejarahnya di dunia, kultur thrifting sebenarnya sudah dimulai sejak lebih dari satu abad lalu. Mengutip Time, pada akhir abad ke-19, berbagai wilayah di Amerika Serikat (AS) tumbuh pesat pasar loak atau kultur thrifting.
Kala itu Revolusi industri memperkenalkan produksi massal pakaian yang dianggap banyak orang sebagai sekali pakai. Akibatnya, banyak barang yang dibuang.
Dalam periode itulah, gerakan barang-barang second-hand atau preloved pun bermunculan dalam upaya menemukan kegunaan baru sebuah barang.
Organisasi Salvation Army dan Goodwill kala itu berperan besar mengembangkan konsep thrifting. Mereka mengumpulkan baju-baju bekas untuk kemudian dijual untuk para imigran dengan harga yang jauh lebih murah.
(lom/dmi)