Fachriansyah Pubes sibuk menatap layar ponsel. Matanya fokus menatap karakter yang dia mainkan. Sementara jarinya lincah menari di atas layar.
Pemuda 18 tahun ini adalah seorang gamer. Dalam sehari, minimal tiga jam ia habiskan bermain game online. Terkadang sampai 5 jam bahkan lebih. Di kamar kosnya yang sempit, ponsel selalu tersambung kabel charger.
Lima jam bukan waktu yang lama baginya untuk bermain game online. "Waktu covid bisa [main game] 24 jam," katanya sambil tertawa beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pubes begitu menikmati permainan. Hatinya senang bukan kepalang saat menang. Jika kalah, kecewa pastinya.
Ia mengaku hanya menikmati permainan tanpa memikirkan proses yang terjadi di balik permainan tersebut.
Ia tak memusingkan soal setiap gerakan karakter di game memicu puluhan inference mulai dari matchmaking, prediksi lawan, hingga rekomendasi item.
"Saya enggak kepikiran, yang penting baterainya ada," katanya.
Di balik asyiknya bermain game online, ada server di data center yang bekerja yang membutuhkan banyak energi. REUTERS/FRANCIS KOKOROKO |
Ponsel dengan batere cukup dan paket data internet seolah jadi salah satu kebutuhan pokok baginya.
Di tempat lain, Dia Putri Rinjani tengah men-scroll layar ponsel. Terus ke bawah dan seolah tak berujung.
Aplikasi TikTok tengah dibukanya. Sudah menonton satu, lanjut kedua, ketiga dan seterusnya. Wanita 18 tahun ini mengaku tak tahu jumlah video di TikTok yang ditontonnya saban hari.
"Biasanya scroll aja, enggak ngitungin berapa video yang saya tonton," kata Dia Putri.
Sama seperti Pubes, ia tak begitu peduli proses yang ada di balik cara kerja aplikasi berbagi video pendek itu.
Yang ia tahu, semakin banyak video yang ditontonnya, semakin cepat ponselnya low batt.
"Dari 80 [persen] tiba-tiba 20, saya harus ngecas terus," katanya. Karena ia harus memastikan daya ponselnya jangan sampai habis.
Fenomena seperti Pubes dan Dia Putri sudah jamak terjadi di generasi muda kita. Ponsel dengan segala fiturnya sudah jadi kebutuhan pokok. Namun mereka sama sekali tak menyadari proses di baliknya, ada ribuan komputer yang bekerja di pusat data dan ada energi massif yang dipakai untuk menggerakannya.
Energi yang tidak kita sadari penggunanya yang kerap disebut shadow energy atau energi bayangan.
Di kehidupan manusia moderen saat ini, layar ponsel sudah jadi stimulus sejak bangun tidur. Mata baru saja terbuka, namun proses digital sudah mulai bekerja.
Dari mulai akun TikTok yang dibuka, keyboard prediktif menebak kata, hingga Spotify menawarkan lagu yang pas dengan suasana jiwa. Belum lagi chatbot kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) menjawab pertanyaan akademik atau saran memulai hari yang muncul spontan.
Semua terjadi dalam hitungan detik. Tidak ada suara mesin, bau bahan bakar, atau sensasi penggunaan energi. Sebuah pengalaman digital yang begitu seamless.
Namun pengalaman itu ternyata bukan hal sepele. Ratusan hingga ribuan komputer di pusat data menyala hanya untuk memproses satu rangkaian aktivitas yang terlihat sederhana dari sisi pengguna.
"Setiap kali kita scroll, swipe, menonton video, atau menggunakan fitur AI, sebenarnya ada ratusan sampai ribuan komputer di data center yang menyala untuk memproses permintaan kita," kata analis energi World Resources Institute (WRI) Indonesia Rachman Setiawan.
Data Center Google milik raksasa teknologi Google. Dok. Google. |
WRI adalah NGO yang fokus pada 5 hal yang dianggap mendesak saat ini yakni hutan dan tata guna lahan, iklim, energi, kota dan transportasi, serta Laut.
Konsumsi energi digital yang tersembunyi, tidak diucapkan, tidak dibahas, tetapi terus bertambah seiring gaya hidup generasi yang tumbuh bersama algoritma.
Sebagian besar pengguna membayangkan beban energi AI hanya pada tahap pembuatan atau pelatihan model. Padahal dalam studi Google DeepMind 2024 dan Stanford AI Index 2024, beban energi justru memuncak pada tahap berikutnya, yakni ketika model digunakan setiap hari melalui proses bernama 'inference'.
Pendiri Vektor Indonesia Ekki Rinaldi mengatakan proses pelatihan model AI biasanya diperlukan dalam jumlah yang banyak dan intens tapi hanya dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan inference membutuhkan kestabilan karena model perlu dijalankan 24 jam setiap hari.
Vektor Indonesia adalah sebuah perusahaan portofolio AI.
Inference terjadi saat sistem AI mengeksekusi permintaan pengguna. Mulai dari seseorang meminta rekomendasi video, menggunakan autocorrect, mengetik di mesin pencarian, membuka filter wajah, hingga mengirim prompt chatbot.
Skalanya masif ketika akumulasi miliaran permintaan dari puluhan juta pengguna setiap hari membutuhkan biaya besar dari penggunaan energi untuk pendinginan, jaringan, dan komputasi yang dibutuhkan.
"Di 2023, OpenAI mengeluarkan sekitar USD700.000 per hari hanya untuk inference." ujar Ekki.
Dengan kurs Rp16.600 per dolar AS, duit itu setara dengan Rp11,62 miliar.
Semakin cepat respons AI, semakin besar energi yang terbakar di tempat lain.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan pusat data paling agresif di Asia Tenggara. Menurut laporan Structure Research 2024, Jakarta sedang berkembang menjadi hub hyperscale baru setelah Singapura memperketat regulasi energi untuk pusat data.
Pertumbuhan ini berjalan di atas sumber energi listrik yang belum berubah. Dalam catatan International Energy Agency (IEA 2024), sebagian besar listrik Indonesia masih berbasis batu bara alias energi fosil.
Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan ini membuat ada risiko yang harus ditanggung. Energi fosil lagi-lagi jadi andalan alih-alih pengembangan energi baru terbarukan (EBT)
"Bila perusahaan data center tidak mendorong kuat suplai dari energi bersih, maka data center akan menambah beban sistem ketenagalistrikan dan berpotensi mendorong ekspansi PLTU," kata Putra.
Menurutnya data center memang bisa menyerap kelebihan kapasitas PLTU. Namun ini bisa berujung pada ekspansi energi fosil untuk PLTU dan PLTG.
Jika PLTU menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, PLTG bergantung pada gas alam.
Hubungannya dengan pola penggunaan digital sangat erat. Menurut Putra alasan utama penempatan data center adalah karena demand yang sangat kuat dari negara dengan populasi Gen Z besar seperti Indonesia. Dengan kata lain, perilaku digital harian bukan sekadar kebiasaan, melainkan pendorong infrastruktur berbasis energi fosil itu.
Analis energi World Resources Institute (WRI) Indonesia Rachman Setiawan mengaku cemas jika pertumbuhan infrastruktur digital lebih cepat ketimbang proyek energi baru terbarukan (EBT) dan infrastruktur transmisi. Cara instan memperpanjang operasi PLTU yang sudah sangat mungkin bakal diterapkan.
Teknologi berhasil menyembunyikan konsekuensi buruknya. Setiap swipe bisa menjadi justifikasi teknis untuk memperpanjang umur pembangkit batubara 20-30 tahun ke depan.
Industri data center berada di posisi strategis dalam ekosistem digital Indonesia. Namun industri bukan sektor yang mudah diakses publik. Informasi teknis seperti konsumsi listrik, Power Use Effectiveness (PUE), penggunaan Graphics Processing Unit (GPU) untuk AI inference, hingga sumber energi umumnya tidak tersedia dalam domain publik dan hanya muncul melalui laporan lembaga riset atau regulator.
Ketiadaan data terbuka ini membuat diskusi mengenai jejak energi AI bergantung pada riset sekunder dan analisis pakar eksternal, bukan dokumentasi langsung dari operator. Situasi ini menunjukkan satu hal yang lebih besar dan mengkhawatirkan: infrastruktur digital berkembang lebih cepat daripada mekanisme akuntabilitasnya.
Namun indikator-indikator publik memberi gambaran jelas arah pergerakannya. Konsumsi listrik data center tumbuh tiga kali lebih cepat dari laju ekonomi, sementara kapasitas fisik fasilitas di Jabodetabek melonjak hingga ratusan megawatt dalam waktu kurang dari dua tahun. Dengan kategori pelanggan lain stagnan, data center mulai menjadi salah satu penyerap energi listrik tercepat di Indonesia.
Generasi muda atau gen z yang kerap menggunakan gadget untuk beraktivitas atau berinteraksi. Foto: iStockphoto/Alessandro Biascioli |
Data Center Map mencatat ada sekitar 184 pusat data tersebar di 32 kota di Indonesia. Jakarta menjadi pusat terpadat (96 fasilitas), diikuti Batam (15 fasilitas), Surabaya, Bandung, dan sejumlah kota lain. Portofolio nasional terbaru mencatat lebih dari 537 MW daya terpasang data center yang menjadikannya kontributor energi domestik, bukan hanya pengguna luar negeri.
Sementara dalam catatan Ekki beberapa servis LLM seperti OpenAI, Claude, dan Mixtral menggunakan komputasi GPU yang servernya tidak ada di dalam negeri.
Namun kapasitas domestik yang terus bertambah tetap menyerap aktivitas digital harian. Energi bayangan itu kini tidak hanya tersembunyi dari kesadaran publik, tetapi terdistribusi dalam dua lapisan yang sebagian terjadi di luar negeri dan sebagian lagi merambah di dalam negeri seiring pola penggunaan digital masyarakat.
Sementara itu Ketua Umum Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO) Hendra Suryakusuma mengakui mayoritas pusat data di Indonesia masih bergantung pada listrik berbasis batu bara. Namun Hendra menegaskan industri sedang memasuki fase transisi menuju operasional rendah emisi melalui pedoman Green Data Center (2022), rencana standardisasi Sustainable Data Center Index (2026), serta dorongan adopsi EBT.
"IDPRO melihat adanya angin segar di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025, di mana PLN menargetkan untuk bisa mencapai 76% renewable energy," kata Hendra kepada CNN Indonesia.
Hendra menyebut fase saat ini sebagai masa transisi awal di mana grid fosil masih mendominasi. Meski begitu menurutnya arah kebijakan sudah mulai bergeser.
"Ini adalah bagian dari agenda strategis IDPRO, mendorong opsi penggunaan EBT, efisiensi energi, dan praktik green data center di antara anggota. Banyak member IDPRO juga yang sangat berkomitmen untuk bisa net zero emmission," katanya.
Ia mengatakan saat ini konsumsi listrik global di industri data center sudah mencapai 2 persen dari total suplai listrik. Menurutnya bahkan diperkirakan kapasitas nasional dapat mencapai 2,7 gigawatt pada 2030.
Lonjakan ini didorong langsung oleh layanan digital real-time seperti inference AI, streaming, dan rekomendasi. Dengan kata lain, pola penggunaan digital Gen Z bukan hanya indikator sosial, tetapi variabel kalkulatif dalam perencanaan kelistrikan nasional.
Meski belum ada data publik yang memetakan proporsi energi bersih karena implementasinya masih sporadis dan bergantung lokasi serta operator.
"IDPRO berkomitmen menjadikan sustainability dan efisiensi energi sebagai bagian integral dari blueprint pengembangan data center di Indonesia. Sudah kami mulai langkahnya tapi memang perjalanan masih jauh dan penuh tantangan," katanya.
Ia juga mengatakan akan terus mengadvokasi pemerintah, terutama pembuat kebijakan energi dan infrastruktur, serta operator swasta, investor, dan otoritas setempat, untuk bekerja sama merumuskan kerangka kebijakan, insentif, regulasi, dan standardisasi yang mendukung transisi ke energi bersih di sektor data center.
Ia menekankan bahwa digitalisasi dan target energi bersih "tidak harus bertentangan," selama ada standardisasi, insentif teknologi rendah emisi, dan perencanaan kelistrikan yang memasukkan ekspansi data center sebagai variabel strategis.
Di sini, artikulasi IDPRO tidak meniadakan kekhawatiran publik, tetapi mengubahnya menjadi agenda. Bahwa infrastruktur yang menopang kehidupan digital Indonesia dapat berkembang tanpa memperpanjang umur PLTU, jika desain energi bersih menjadi arsitektur, bukan sekadar aksesori.
Hendra mengakui mengakui status quo masih berjalan dengan basis fosil. Ketergantungan sistemik ini sudah disadari industri, artinya kondisi sekarang bukan final. Infrastruktur digital tumbuh dengan logika kecepatan, sementara transisi energi bekerja dengan logika kehati-hatian.
Guru Besar Sistem Informasi Binus University Yohannes Kurniawan menyebut pola konsumsi digital sebagai 'micro-interactions at scale'. Dari perspektif Human-Computer Interaction, pola interaksi Gen Z dalam penggunaan aplikasi seperti scroll cepat, multi-tasking apps, dan konten berbasis rekomendasi akan menyedot banyak operasi di backend meskipun jika dilihat setiap aksi ini terlihat kecil.
"Pada intinya di sini akan banyak mikro interaksi agregat menjadi beban komputasi nyata di sisi server," katanya.
Dari Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 dan Stanford AI Index 2024, estimasi konservatif menunjukkan rata-rata interaksi AI Gen Z Indonesia mencapai 1.000 hingga 3.000 inference per hari.
Angka ini berasal dari scroll media sosial yang memicu 500-800 inference untuk konten understanding dan recommendation, penggunaan AI tools dengan 100-200 inference, serta gaming online yang menghasilkan 500-800 inference untuk real-time processing.
Dengan rata-rata konservatif 2.000 inference per hari dan konsumsi 0.002 kWh per inference berdasarkan model kelas GPT-3.5 (Stanford AI Index 2024), energi harian per pengguna mencapai 0.06 kWh.
Jika dikalikan populasi Gen Z sekitar 74 juta orang (BPS 2024), setidaknya 1.6 TWh energi per tahun terpakai hanya untuk inference AI. Belum termasuk streaming video dan gaming dengan grafis tinggi.
Jumlah ini setara operasi dua PLTU kecil bekerja penuh selama setahun, atau konsumsi 400 ribu rumah tangga. Dengan faktor emisi grid Indonesia 0,75 kg CO2 per kWh, ini berarti 1,2 juta ton CO2 dilepaskan setiap tahun, hanya dari kebiasaan digital satu generasi.
Angka 1,6 TWh bukan abstraksi. Data Kementerian ESDM mencatat hingga akhir 2023 masih ada 140 desa di Papua yang belum berlistrik, dan 185.662 rumah tangga belum tersambung listrik.
Sementara operator global, EdgeConneX, dalam keterangan resminya mengonfirmasi rencana perluasan kampus data centernya di Jakarta dan Cikarang hingga kapasitas lebih dari 200 megawatt. Sebuah skala yang berada di kelas hyperscale dan dirancang beroperasi nyaris tanpa henti sepanjang tahun.
"Digitalisasi bisa menjadi 'penggerak emisi terselubung' yang menggerus ruang karbon untuk sektor lain seperti transportasi dan industri." kata Rachman.
Ketika data center menghabiskan kapasitas listrik untuk memproses inference TikTok, elektrifikasi desa, transportasi publik listrik, dan transisi energi industri tertunda.
Putra menegaskan, "Data center harus menuntut energi bersih jika tidak mau dituduh memperpanjang energi fosil dan 'hanya' memanfaatkan listrik murah di Indonesia."
Gen Z di Jabodetabek menikmati streaming tanpa buffer dan AI yang merespons dalam satu detik. Sementara anak-anak di Sumba dan pedalaman Kalimantan masih belajar tanpa lampu yang stabil.
Kontras dua fakta ini menunjukkan pergeseran struktur energi nasional di mana layanan digital semakin masuk kategori kebutuhan dasar urban dan komersial dengan konsumsi tinggi dan operasional 24/7. Sementara sebagian wilayah timur Indonesia masih berada pada tahap akses listrik minimum. Perbedaan itu tidak sekadar mencerminkan jarak geografis, tetapi juga prioritas dalam pembangunan infrastruktur energi di era digital.
Putra mengusulkan mandat konkret dengan mewajibkan data center disuplai dengan energi bersih persentase tertentu dalam timeline yang jelas dan menanjak naik seiring waktu, misalnya 20 persen pada 2030, 30 persen pada 2035 dan seterusnya.
Hal ini untuk mengimbangi kebutuhan pertumbuhan data center, memberi ruang untuk menyerap kelebihan pasokan PLN dan juga memacu perkembangan energi bersih Indonesia.
"Jangan sampai data center hanya menggunakan listrik murah Indonesia tetapi tidak memacu energi bersih ke depan," tambahnya.
Yohannes menawarkan pendekatan dari sisi desain, "Desain yang sadar akan energi adalah fidelity yang adaptif, preferensi pengguna untuk mode low-power, dan transparansi konsumsi berupa indikator sederhana estimasi energi atau CO2 per aksi atau per sesi."
Transparansi seperti ini membangun literasi tanpa menghentikan penggunaan.
Ekki menekankan edge computing sebagai solusi teknis, "Dengan adanya tren NVIDIA mengeluarkan NVIDIA DGX SPARK, komputasi on premise bisa dilakukan jauh lebih murah; hanya membutuhkan sekitar 2 persen biaya dibandingkan dengan penerapan bare metal server versi sebelumnya."
Prediksinya, ke depan tren robotik akan sangat berkembang, di mana ini akan terus mendorong kebutuhan edge computing yang lebih masif dan inovatif.
Jika tiga arah ini berjalan yakni regulasi energi, desain transparan, dan infrastruktur efisien, Indonesia bisa menjadi model transisi digital yang adil.
Generasi Z adalah generasi digital pertama yang tidak hanya menggunakan teknologi. Mereka membentuk ritmenya. Namun ritme yang mulus di layar menciptakan aktivitas energi yang berat di luar pandangan.
Teknologi berhasil menyembunyikan biayanya. Tetapi penyembunyian itu tidak menghapus dampaknya, hanya memindahkan dari layar ponsel ke PLTU yang mengepul, dari pengguna sekarang ke generasi yang akan hidup dengan konsekuensi iklim.
Kita sudah terbiasa membayar paket data bulanan. Tapi biaya yang lebih mahal seperti polusi, udara, dan masa depan dipertaruhkan oleh orang-orang yang bahkan tidak ikut merasakan kenyamanan digital yang kita nikmati.
Pertanyaan akhirnya sederhana. Ketika kenyamanan digital bertumpu pada energi fosil, siapa yang akan menanggung sisanya nanti?
(sur)