Siklon Senyar dan Lonceng Bahaya Badai Tropis Negeri Khatulistiwa
Siklon Tropis Senyar yang melanda Sumatra di akhir 2025 ini memicu diskusi mengenai masa depan risiko siklon di Indonesia. Pasalnya Indonesia selama ini dianggap relatif aman dari badai tropis karena berada di garis khatulistiwa.
Munculnya Senyar dikaitkan dengan kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) yang negatif. IOD adalah sejenis "ayunan suhu laut" di Samudra Hindia bagian barat dan timur. Seperti kolam raksasa yang kadang-kadang lebih hangat di satu sisi dan lebih dingin di sisi lainnya, Samudra Hindia mengalami ketidakseimbangan suhu yang membuat pola angin, awan, dan hujan jadi ikut berubah.
Dalam kondisi IOD positif air laut lebih hangat di Samudra Hindia barat (dekat Afrika Timur) dan lebih dingin di Samudra Hindia timur (dekat Indonesia). Sebaliknya kondisi IOD negatif ditunjukkan dengan air laut lebih hangat di sisi Indonesia dan lebih dingin di sisi Afrika. Akibatnya angin berbalik arah, membawa uap air ke Indonesia. Sebagai dampaknya Indonesia dapat hujan lebih banyak, dan sering terjadi banjir di beberapa wilayah.
IOD negatif ditambah fenomena La Nina, seperti terjadi pekan lalu, menyebabkan suhu permukaan laut di sekitar wilayah Indonesia meningkat di atas normal. Perairan yang lebih hangat ini menjadi penyebab utama munculnya badai tropis dengan memperkuat konveksi, menyediakan uap air, dan mempermudah bibit siklon berkembang.
Menurut Adjunct Fellow di Climate Change Research Centre, UNSW Australia Dr Agus Santoso, Indonesia perlu bersiap menghadapi kehadiran siklon berikutnya.
"Pemanasan permukaan laut memperbesar kemungkinan dan risiko siklon tropis seperti Senyar ke depannya, terutama jika ada Indian Ocean Dipole negatif dan La Nina seperti yang terjadi tahun ini," kata Agus kepada CNN Indonesia, Sabtu (6/12).
Selama ini Indonesia jarang diterjang siklon karena coriolis force atau gaya yang diperlukan untuk memutar sistem badai berada dalam posisi sangat lemah dekat ekuator. Umumnya, siklon baru dapat terbentuk pada lintang di atas 5-7° dari ekuator, dan itu sebabnya hampir seluruh wilayah Indonesia sering disebut "aman" dari ancaman badai besar.
Selama 40 tahun terakhir, hanya beberapa kasus siklon yang terbentuk sangat dekat ekuator, di antaranya Siklon Vamei (2001). Bibit badai yang masuk ke wilayah Indonesia hampir semuanya gagal berputar dan hanya menghasilkan hujan ekstrem.
"Pemanasan laut di Indo-Pasifik dapat memperluas zona rawan siklon lebih dekat ke garis khatulistiwa, sehingga Indonesia yang biasanya aman menjadi lebih rentan," kata Santoso.
Dengan suhu permukaan laut yang terus meningkat akibat perubahan iklim, hambatan alami terhadap gejala siklon di Indonesia perlahan menipis. Meski frekuensi siklon mungkin tidak melonjak drastis, intensitasnya hampir pasti meningkat. Ini berarti badai yang terbentuk mungkin tidak bertambah signifikan, tetapi akan jauh lebih kuat dan merusak.
Zona risiko Sumatera sampai Jawa
Menurut Santoso, tidak semua wilayah Indonesia berada pada risiko yang sama.
"Wilayah Indonesia yang menjauhi ekuator seperti kepulauan utara dan selatan, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara, lebih rentan terhadap siklon," jelasnya.
Sumatera bagian utara menjadi lebih rawan karena berdekatan dengan Selat Malaka dan Laut Andaman yang suhunya meningkat. Sementara Nusa Tenggara berada dekat perairan hangat yang terhubung ke Samudra Hindia selatan. Pulau-pulau selatan Indonesia (NTT-NTB) juga berpotensi terdampak siklon dari belahan selatan.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, menurut Santoso risiko jangka panjang siklon juga meluas ke pulau lain.
"Ada potensi jangka panjang bagi Kalimantan, Sulawesi, atau bahkan Jawa mengalami dampak siklon yang lebih kuat daripada sekadar hujan ekstrem," imbuhnya.
Wilayah yang dulunya hanya terdampak tail-end (efek buntut) sistem badai kini mungkin menghadapi gelombang badai besar, angin kencang, atau banjir pesisir yang diperparah oleh kenaikan muka air laut.
Salah satu alasan mengapa Senyar menyebabkan kerusakan dan korban jiwa yang sangat luas adalah karena Indonesia tidak memiliki banyak pengalaman berhadapan dengan siklon tropis.Karena itu Indonesia perlu khawatir.
Perlu penelitian siklon di Indonesia
Indonesia membutuhkan pemahaman baru terhadap siklon agar dapat bersiap menghadapi risiko serangan berikutnya dan menghindarkan korban dan kerusakan yang makin parah.
Santoso mengatakan hal ini hanya bisa dilakukan dengan terobosan penelitian untuk memahami dinamika siklon yang kini mungkin berubah.
"Penelitian bagaimana siklon berbentuk dan berevolusi di kelautan Indonesia, dan dampaknya: curah hujan, tanah longsor, gelombang badai, erosi pantai, banjir... semuanya diperkuat oleh kenaikan permukaan laut dan penurunan tanah," kata Santoso.
Idealnya, penelitian ini dapat menunjukkan pemodelan siklon resolusi tinggi, mengetahui hal-ihwal mengenai gelombang badai di kota-kota pesisir besar, studi interaksi siklon dengan topografi kepulauan serta melakukan integrasi risiko siklon dalam rencana tata ruang dan bangunan, terutama di wilayah berisiko.
Santoso juga menekankan pentingnya membangun ketahanan sosial sebagai fondasi adaptasi masyarakat. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang perubahan iklim dan dampaknya, agar memperkecil risiko bencana alam.
Langkah-langkah konkret dan mudah dimengerti publik perlu digalakkan seperti membersihkan saluran air, melawan pembalakan hutan, menjaga hutan bakau sebagai pelindung alami pesisir, dan mengurangi penurunan muka tanah di kota-kota pesisir.
Dengan kata lain, adaptasi terhadap siklon dan perubahan iklim secara keseluruhan bukan hanya soal infrastruktur mahal, tetapi perubahan perilaku dan tata kelola lingkungan.
Tiga provinsi di Sumatra luluh lantak akibat Siklon Senyar yakni Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Daya rusak siklon makin diperparah dengan rusaknya kawasan hutan.
Akibatnya, siklon memicu banjir bandang dan tanah longsor. Infrastruktur lumpuh di banyak tempat. Banyak wilayah terisolasi. Bantuan terhambat dan korban bencana terancam kelaparan.
Data hingga Sabtu (6/12) pagi, tercatat 867 orang tewas dan 521 lainnya belum ditemukan. Ribuan rumah penduduk, bangunan serta infrastruktur seperti jalan dan jembatan hancur. Kerugian diperkirakan mencapai ratusan triliun.
Terkait dugaan deforestasi, penegak hukum saat ini tengah mengusut kasusnya. Perizinan perusahaan juga mulai ditinjau ulang pemerintah.
(sur)