Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Boleh jadi laporan bernama Panama Papers dari International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menjadi momok bagi pejabat publik dunia, politisi, kaum superkaya, dan pesohor yang namanya disebut dalam dokumen tersebut.
Pasalnya, dokumen tersebut mengungkap rahasia keuangan yang mengindikasikan perilaku tidak terbuka, tidak etis, atau tidak patut dari para pejabat publik dunia, politisi, dan kalangan superkaya.
Informasi yang selama ini sangat rahasia, tiba-tiba bocor dan menjadi konsumsi publik. Lebih dari 214.000 informasi perusahaan cangkang (
shell company) yang terdaftar di 21 negara suaka atau surga pajak (
tax havens countries) diungkap dalam bocoran dokumen terbesar sepanjang sejarah tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan ICIJ menjelaskan bagaimana para pejabat, politisi, dan kaum superkaya melindungi (menyembunyikan) kekayaannya melalui pendirian perusahaan cangkang di negara-negara surga pajak.
Tak pelak, dokumen tersebut menimbulkan berbagai macam reaksi di seluruh dunia. Di Islandia, Panama Papers telah “memakan korban” dengan mundurnya Perdana Menteri Sigmundur Gunnlaugsson karena namanya dikaitkan dengan kepemilikan salah satu perusahaan cangkang.
Australia mulai melakukan investigasi atas 800 perusahaan dan perorangan yang namanya tercantum dalam dokumen tersebut. Demikian juga negara-negara lain seperti India, Prancis, Italia, dan Selandia Baru.
Di Indonesia, Menteri Keuangan telah meminta Direktorat Jenderal Pajak untuk mempelajari dokumen tersebut. Data Panama Papers menjadi informasi tambahan dalam pengujian kepatuhan pembayaran pajak, melengkapi data yang sudah dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Sejatinya, mendirikan perusahaan di luar negeri (
offshore company) bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Perusahan atau perorangan bebas mendirikan perusahaan di negara manapun yang dikehendaki termasuk di negara-negara surga pajak atau juga dikenal sebagai pusat keuangan
offshore.
Beragam motif pendirian perusahaan di luar negeri, diantaranya adalah memaksimalkan akses terhadap pasar keuangan dunia atau penetrasi pasar global.
Pilihan investasi global yang lebih beragam, memanfaatkan iklim bisnis yang lebih kondusif, dan efisiensi biaya bagi perusahaan multinasional adalah pertimbangan lainnya.
Pendirian induk usaha (
holding company) atau anak usaha di luar negeri merupakan bagian dari strategi bisnis.
Perusahaan di luar negeri biasanya sering difungsikan sebagai
Spesial Purpose Vehicle (SPV) yang menangani aktivitas aksi korporasi perusahaan seperti penghimpunan modal, penerbitan surat utang, maupun kegiatan pembelian dan pelepasan bisnis.
Bagi kalangan superkaya, pendirian perusahaan di luar negeri atau penempatan dana di luar negeri merupakan bagian dari pengelolaan keuangan pribadi.
Namun demikian, pendirian perusahaan di negara-negara surga pajak seringkali dipersepsikan negatif. Hal ini tidak terlepas dari kerahasiaan yang ditawarkan disamping tidak ada pajak atau minimnya pajak yang dikenakan.
Negara-negara seperti Cayman Islands, British Virgin Island (BVI), Panama, Bermuda, Bahama, Belize, Cook Islands, Seychelles, Marshall Islands, Siprus, dan Mauritius menawarkan kerahasiaan keuangan tingkat tinggi.
Negara-negara tersebut tidak mewajibkan pengungkapan pemilik yang sebenarnya (
beneficial owner) atas suatu perusahaan atau asset yang ditempatkan di negara tersebut.
Pendirian perusahaan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Hanya dengan modal US$1, perusahaan sudah siap beroperasi dalam hitungan jam. Perusahaan cukup diwakili oleh agen penyedia jasa (seperti Mossack Fonseca) sebagai agen terdaftar dan pemegang saham. Pemilik sebenarnya tidak pernah terungkap.
Informasi yang bisa diakses publik hanya terbatas pada alamat perusahaan dan informasi agen yang mendaftarkan. Legislasi yang longgar tersebut menjadi daya tarik bagi kalangan superkaya untuk menempatkan hartanya di sana. Bahkan menjadi tempat yang aman bagi para pejabat dan politisi serta pelaku tindak kriminal untuk menyembunyikan harta yang diperoleh dari cara yang tidak patut atau hasil kriminal.
Disamping kerahasiaan, negara-negara tersebut menawarkan keringanan pajak yang ekstrem. Pajak umumnya tidak dikenakan dan kalaupun ada, nominalnya sangat kecil. Oleh karena itu negara-negara itu disebut sebagai surga pajak. Negara-negara lain mengharuskan perusahaan memiliki usaha aktif namun negara-negara surga pajak tidak mewajibkan adanya usaha aktif.
Selain itu, tidak ada persyaratan mengenai anggota manajemen lokal maupun keharusan manajemen untuk melakukan pertemuan tahunan di negara tersebut. Perusahaan tidak lebih dari sekedar “kotak surat” yang tidak memiliki kegiatan apapun sehingga disebut perusahaan cangkang.
Negara-negara surga pajak juga tidak mengikat perjanjian pajak dengan negara-negara lain sehingga tidak memiliki kewajiban melakukan pertukaran informasi.
Pajak yang minimal (bahkan tidak ada sama sekali) dan kerahasiaan yang ketat benar-benar menjadi paket yang komplet untuk menarik investasi masuk. Meski tidak selalu bertujuan melawan hukum, investasi atau pendirian perusahaan di negara-negara surga pajak hampir pasti bertujuan untuk melakukan peghindaran pajak.
Perusahaan multinasional misalnya, mempunyai pilihan yang lebih luas dalam mengatur beban pajaknya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan seperti Google, Apple, Amazon, dan Starbucks mempunyai anak usaha yang berlokasi di yurisdiksi surga pajak. Tujuan utamanya adalah meminimalkan beban pajak yang harus dibayar di negara asalnya (Amerika Serikat) maupun di negara dimana penghasilan diperoleh (
source country).
Keuntungan usaha dialihkan ke negara-negara surga pajak sehingga tidak dapat dijangkau oleh negara asal ataupun negara sumber penghasilan. Penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perpajakan melalui skema yang disebut ”Double Irish Dutch Sandwich”.
Bocoran dokumen Luxembourg Leaks pada tahun 2014 semakin mempertegas praktik penghindaran pajak yang dilakukan Google dan 350 perusahaan multinasional lainnya.
Tindakan tersebut dianggap sebagai penghindaran pajak yang legal (
tax avoidance). Meski legal, tindakan tersebut dipandang tidak etis karena bertentangan dengan tujuan pembuatan undang-undang perpajakan, yaitu pajak seharusnya dibayar di negara tempat penghasilan diperoleh.
Tindakan yang ilegal adalah memanfaatkan negara-negara surga pajak untuk melakukan pengelakan atau pengemplangan pajak (
tax evasion).
Bagi pejabat dan politisi korup serta pelaku tindak kriminal, tindakan pengelakan pajak tersebut menjadi satu paket dengan tindakan menyamarkan atau menyembunyikan hasil kejahatan.
Seringkali juga disertai dengan strategi memasukkan kembali uang haram ke dalam sistem keuangan yang transparan (
money laundering). Perusahaan cangkang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Perusahaan cangkang menerima penghasilan dan aset yang hendak disembunyikan. Penghasilan dan aset tersebut tentu tidak dilaporkan di negara asalnya. Dengan cara ini, sebagian besar penghasilan atau bahkan seluruhnya tidak dikenakan pajak.
Pengelakan pajak dapat dilakukan dengan berbagai metode, dari yang sederhana sampai metode yang rumit. Metode yang paling sederhana adalah mendirikan perusahaan cangkang atau membuka akun bank memakai nama sendiri.
Metode yang lebih rumit melibatkan struktur kepemilikan dan transaksi yang kompleks. Untuk mempersulit jangkauan otoritas maka kepemilikan maupun transaksi dibuat berlapis-lapis. Alih-alih menggunakan nama pribadi sebagai pemilik atau direktur perusahaan, maka digunakan nama bayangan (
nominee) sebagai pemilik maupun direktur.
Para penyedia jasa perusahaan offshore biasanya juga menyediakan jasa direktur bayangan. Untuk menghilangkan kekhawatiran akan kendali perusahaan, penyedia jasa
offshore menyiapkan surat pengunduran diri direktur bayangan yang telah ditanda tangani namun belum dibubuhi tanggal.
Direktur bayangan dapat dikeluarkan atau diganti kapanpun dikehendaki. Jadi perusahaan cangkang sepenuhnya di bawah kendali pemilik sebenarnya. Pengendalian juga dilakukan melalui penerbitan saham atas unjuk (
bearer shares).
Pembukaan rekening bank dilakukan di yurisdiksi surga pajak yang berbeda. Transaksi dilakukan dengan melibatkan banyak perusahaan cangkang dan bank untuk menghilangkan jejak. “
Own nothing but control everything”, demikian John D. Rockefeller melindungi kekayaannya.
Penghindaran maupun pengelakan pajak menghambat kemampuan negara untuk memungut pajak secara maksimal. Negara, yang menyediakan infrastruktur dan berbagai fasilitas lainnya, hanya mendapat penerimaan yang minimal dibanding potensi yang seharusnya.
Penerimaan tersebut seringkali tidak mampu menutup kebutuhan dana pembangunan yang semakin besar. Akibatnya Pemerintah menaikkan pungutan pajak dan memperluas basis pemajakan. Pada akhirnya masyarakat kelas menengah akan menanggung beban terberat dari situasi tersebut.
Praktik penghindaran dan pengelakan pajak juga menimbulkan kondisi persaingan ekonomi yang tidak sehat dan ekonomi spekulatif (
casino economy).
Keberadaan negara-negara surga pajak menjadi momok bagi negara-negara lain. Keberadaanya telah membantu pengusaha maupun kalangan superkaya menghindari pajak.
Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Liberasi sistem keuangan dunia sekarang ini sangat memudahkan perputaran uang dan modal.
Zucman (2015) mengatakan bahwa kapitalisme tanpa surga pajak adalah sebuah utopia, pengenaan pajak yang progresif terhadap penghasilan dan keuntungan ditakdirkan untuk gagal, kecuali kita memilih jalan proteksionisme.
Hal ini berarti negara harus melakukan upaya-upaya yang dapat mencegah terjadinya penghindaran pajak sekaligus melakukan upaya penegakan hukum untuk menarik pajak atas penghasilan ataupun kekayaan yang disembunyikan di negara-negara surga pajak. Lebih jauh, upaya-upaya untuk memberikan tekanan pada negara atau yurisdiksi surga pajak perlu ditingkatkan untuk memaksa mereka bekerjasama dalam hal keterbukaan informasi.
Panama Papers sedikit banyak telah menunjukkan betapa besarnya potensi penghindaran pajak yang terjadi, termasuk di Indonesia. Apapun langkah yang diambil nantinya, apakah penegakan hukum atau
tax amnesty, kita berharap Panama Papers memberi manfaat maksimal bagi upaya pengumpulan penerimaan negara oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(gen/dlp)