Jakarta, CNN Indonesia -- Kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah bukan menjadi satu-satunya program rutin yang dijadikan ajang perpeloncoan dan melakukan kekerasan. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Susanto mengatakan, tindak kekerasan oleh siswa juga terjadi atas nama kegiatan ekstrakurikuler.
Berdasarkan data KPAI tahun 2014-2015, anak yang menjadi pelaku bullying mengalami peningkatan dengan empat tipilogi utama, termasuk kekerasan atas nama MOS dan kegiatan ekskul.
“Tipilogi lainnya adalah bullying atas nama mental capacity untuk adik kelas dan menunjukkan senioritas di sekolah,” ujar Susanto kepada CNNIndonesia.com hari ini, Rabu (13/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Susanto membenarkan bahwa pelaksanaan MOS dan kegiatan ekskul yang mengandung unsur kekerasan dan
bullying seakan mendapat dukungan dari sekolah. Namun hal itu terjadi karena beberap alasan di antaranya, paradigma MOS masih dipahami sebagai pengkaderan yang lazim sehingga kontrol sekolah minim.
“Dalam beberapa kasus MOS dengan kekerasan, guru dan sekolah belum bisa membedakan wilayah pendidikan dan kekerasan, seperti menendang, dan memukul,” tutur Susanto.
Data kasus pengaduan anak berdasarkan Klaster Pendidikan KPAI periode Januari 2010-Juli 2015 menyebutkan, ada lima kategori dalam aduan tentang anak. Dari data itu, kategori “anak korban kekerasan di sekolah” menempati urutan tertinggi sebanyak 496 orang; anak pelaku tawuran pelajar berjumlah 325 orang; anak pelaku kekerasan di sekolah sebanyak 283 orang; dan anak korban tawuran pelajar sebanyak 271 orang.
Kategori lainnya, masih merujuk data KPAI, yaitu anak korban kebijakan lain di sekolah seperti pungli, penyegelan sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan anak putus sekolah berjumlah 475 orang.
Dari data periode tersebut, jumlah korban terbanyak terjadi tahun 2012 sebanyak 552 orang terdiri dari 195 anak korban kebijakan lain; 130 anak korban kekerasan di sekolah; 82 anak pelaku tawuran pelajar, 66 anak pelaku kekerasan di sekolah; dan 49 anak korban tawuran pelajar.
Sementara periode Januari-Juli 2015, aduan yang diterima KPAI sebanyak 220 anak menjadi korban tawuran, pelaku tawuran, korban kekerasan di sekolah, menjadi pelaku kekerasan, hingga menjadi korban kebijakan lain.
Karena itu, KPAI menyambut baik Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18/2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Susanto memberi dua catatan yang harus diantisipasi Kemdikbud setelah Permendikbud tersebut terbit.
“Pertama, Permen itu harus bisa dipahami oleh semua penyelenggara pendidikan dan harus bisa menyadarkan penyelenggara pendidikan bahwa kekerasan sekecil apapun tidak bisa ditolerir,” katanya.
Selain itu, lanjut Susanto, Permendikbud 18/2016 harus bisa mendorong perubahan sistem di sekolah dalam paradigma orientasi siswa baru. “Jangan lagi paradigma orientasi ini hanya sampai di kepala sekolah seperti selama ini, tetapi harus juga bisa diterapkan oleh guru dan petugas sekolah lainnya,” tutur Susanto.
(rdk)