Petualangan Tiga Sekawan dari Timor Leste

CNN Indonesia
Rabu, 05 Jul 2017 08:08 WIB
Di Institut Koperasi Indonesia di Jatinangor ada tiga sekawan dari Timor Leste yang memilih kuliah jauh dari negaranya. Ini kisah mereka.
Ilustrasi di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Ada pemuda Timor Leste yang kemudian memilih kuliah di Indonesia, contohnya tiga sekawan di Institut Koperasi Indonesia di Jatinangor, Sumedang. (Foto: Lamhot Aritonang/Detikcom)
Sumedang, CNN Indonesia -- Institut Koperasi Indonesia, sering disebut dengan Ikopin, terletak di Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Mahasiswanya berasal dari berbagai penjuru Indonesia. Bahkan, ada juga yang berasal dari negara tetangga, Timor Leste.

Ada tiga orang mahasiswa dari Timor Leste yang kuliah di perguruan tinggi ini. Mereka adalah: Dahlia Josedina Rangel, Moises Ehara Soares dan Valentino Baptisda Soares, yang datang ke Indonesia dalam waktu yang berbeda.

Dahlia telah tinggal di Jatinangor sejak tahun 2015. Mula pertama ia ke Indonesia adalah untuk berjalan-jalan di kota Bandung, tetapi ia melihat bahwa kota ini menarik untuk ditinggali. Ia pun memutuskan untuk tinggal di Jatinangor dan berkuliah di Ikopin, walaupun sebelumnya ia telah menempuh pendidikan tinggi di Timor Leste.

“Saya ingin menambah wawasan, ingin belajar lebih banyak hal,” tuturnya dengan antusias ketika ditanya mengenai alasannya berkuliah di Ikopin.

Awal Dahlia mengikuti perkuliahan di Ikopin, ia mengalami sedikit kendala dalam penggunaan bahasa. Kosakata dalam bahasa Indonesia umumnya cukup mudah ia pahami, ada juga kosakata yang susah ia pahami maksudnya. Contohnya, kosakata yang ia temui dalam perkuliahan. Selain bahasa, ia juga mengalami kesulitan dalam pemahaman materi yang disampaikan oleh dosen, sebab bahasanya cenderung baku.

Dahlia tidak menyerah, justru ia berani bertanya kepada teman-temannya di Ikopin dan mempelajari kosakata baru tersebut. Dahlia juga mempelajari kegunaan kosakata tersebut, sehingga ia mengadaptasikan dirinya dengan kata-kata baru itu.

Ketika belajar, Dahlia mengalami proses yang maju. Bahkan ia berani bertanya apabila ada hal yang susah ia pahami kepada orang yang lebih mengerti. “Kuncinya adalah rajin mencari tahu, rajin mempelajari kosakata itu, dan tidak malu untuk bertanya,” kata Dahlia dengan tegas.

Pergaulan Dahlia di Jatinangor tidak jauh berbeda dengan pergaulannya di Timor Leste, hanya satu hal yang membedakannya. “Di Jatinangor sini banyak orang Sunda, sehingga ada kumpulan orang Sunda,” papar Dahlia menjelaskan perbedaannya. Namun Dahlia sekali lagi belajar dari pergaulannya di sini. Ia belajar untuk beradaptasi dan menerima perbedaan di negara multikultural ini.

Kedatangan orang Timor Leste tidak hanya berhenti di Dahlia saja. Pertengahan 2016, ada dua orang Timor Leste yang memulai perkuliahannya di Ikopin, yaitu Moises dan Valentino. Mereka datang ke Jatinangor pada tahun 2016 dalam bulan yang berbeda. Moises datang pada Maret 2016. Sementara Val, sapaan Valentino, baru datang pada Agustus 2016.

Val mengaku sangat senang ketika pertama kali tiba di Jatinangor. Tetapi kesenangan itu berubah menjadi rasa gugup kala ia memulai kuliahnya. “Saya gugup karena belum terbiasa dengan bahasa Indonesia dan suasananya baru,” ungkap Val yang sehari-harinya menggunakan bahasa Portugis.

Val mengaku bahwa ia sangat susah beradaptasi, terutama ketika semua perkuliahannya diisi dengan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, ia kerap kali meminta Dahlia yang telah lebih dulu menguasai bahasa Indonesia untuk membantunya menerjemahkan kata-kata yang ia sampaikan dalam bahasa Portugis ke bahasa Indonesia. Apalagi Val sering mengalami kasus salah komunikasi sebab teman-temannya sering berbicara dengan bahasa Sunda.

Tapi Val tidak menyerah. Ia tidak mau terjebak dalam kondisi kejut budaya terus-menerus. Val memiliki strategi yang hampir sama dengan Dahlia. “Aku harus bertanya banyak dengan teman-teman, aku perhatikan budaya keseharian mereka dan menyesuaikan budayaku dengan budaya mereka,” papar Val dengan penuh semangat

Kasus yang dialami Val tidak sepenuhnya menimpa Moises. Moises memang sudah memahami bahasa Indonesia sebab ia memiliki tetangga di Timor Leste yang merupakan orang Indonesia. Walaupun kosa katanya baik, Moises masih mengalami kesalahan dalam pengejaannya, sebab ia masih terbawa-bawa oleh pengejaan Timor Leste. “Contohnya pas aku mau bilang ‘makan’, yang keluar malah ‘makang’,” ujar Moises memberikan contohnya.

Awalnya, Moises tidak memiliki rencana untuk berkuliah di Ikopin. Tetapi Moises berjalan seolah ia dituntun oleh takdirnya. Moises dipenuhi oleh rasa penasaran ketika ia pertama kali mengnjakkan kakinya di Jatinangor. “Aku penasaran orang-orangnya bagaimana, kebudayaannya bagaimana,” katanya.

Walaupun begitu, teman-teman Moises juga penasaran dan ingin mempelajari Timor Leste lebih lagi, sehingga bagi Moises ia dan teman-temannya bisa belajar sambil bertukar budaya.

Moises saat ini tinggal bersama Rendi Fransisco, teman gerejanya. Walaupun mereka dekat dan saling terbuka satu sama lain, Moises mengaku ia sering mengalami miskomunikasi dengan pria lulusan IPDN ini. “Pasti ada yang namanya miskomunikasi dengan Kak Rendi karena aku memang sering menyelipkan bahasa Inggris dalam obrolanku, jadi kadang Kak Rendi bingung dengan apa yang aku bicarakan,” ungkapnya.

Walaupun berasal dari negara tetangga, hal itu tidak menyurutkan semangat Dahlia untuk mengikuti unit kegiatan mahasiswa. Unit yang Dahlia ikuti ialah Persekutuan Mahasiswa Kristen Katolik (PMKK) Ikopin. Dahlia saat ini memang bukan lagi seorang pengurus, tetapi ia masih sering menghadiri kegiatan yang diadakan PMKK Ikopin.

Begitupula Moises, ia aktif mengikuti Koperasi Keluarga Besar (KKB) Ikopin, sebuah koperasi untuk melatih mahasiswa Ikopin.

“Ketika rapat, saya yang menyesuaikan diri saya dan mengikuti alur berjalannya rapat itu,” jawab Dahlia ketika ditanya bagaimana ia mengikuti rapat. Baginya, tidak mungkin dia mengambil keputusan sewenang-wenang dan meminta semua orang untuk mengerti dirinya, apabila ia bukan pemimpin rapat tersebut. Dahlia belajar untuk mengikuti kebiasaan mereka dan masuk ke dalam gaya hidup mereka.

Tinggal di negara yang berbeda membuat Dahlia harus terpisah jauh dari keluarganya. Tetapi ada hal yang membuat Dahlia bertahan. “Saya bertahan karena saya mau menyelesaikan kuliah di sini,” jawabnya tegas.

Walaupun perjuangannya berat, Dahlia harus mencapai tujuannya, ia ingin kembali untuk membagikan ilmunya di tanah kelahirannya. Timor Leste, katanya, adalah negara yang baru merdeka sejak 1998 silam, sehingga pembangunan di Timor Leste sedang berjalan. Bagi Dahlia, Indonesia adalah negara yang maju daripada Timor Leste, sebab Timor Leste masih dibilang baru.

Moises juga ingin bertahan di Jatinangor, walaupun rasa rindu terhadap keluarganya sering menyerangnya. “Aku punya tujuan hidup aku di Jatinangor, dan aku harus bisa menyatakan tujuan itu,” jawab Moises.

Dahlia, Moises dan Val tidak sulit beradaptasi dengan makanan di Indonesia. “Orang Timor Leste dan orang Indonesia sama saja makanannya, ada nasi, pakai lauk, sayuran,” kata Dahlia. Hal inilah yang mampu membuat mereka bertahan hidup, bahkan mampu memasak makanan Indonesia di rumahnya.

“Kesimpulannya, kebudayaan Timor Leste dan kebudayaan Indonesia tidak jauh berbeda, yang membedakannya hanyalah bahasanya,” ungkap Dahlia menutup kisah tiga sekawan Timor Leste itu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER