Pendidikan untuk Mengatasi 'Budaya' Korupsi

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Kamis, 19 Mei 2016 17:29 WIB
Satu-satunya cara yang berkesinambungan dan menawarkan solusi menghentikan masalah korupsi adalah melalui pendidikan.
Ilustrasi gedung KPK (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bagaimana penegakan hukum di Indonesia? Sebagai orang Indonesia, kita akan sepakat bahwa hukum tajam di bawah, tetapi tumpul di atas. Setidaknya begitu untuk sejumlah besar kasus. Namun, berkaitan dengan kasus korupsi, asumsi tersebut tidak berlaku. Justru hukum Indonesia begitu keras terhadap korupsi di atas, tetapi tumpul di bawah.

Orang Indonesia ternyata luar biasa tidak konsistennya – mungkin kita adalah salah satu bangsa paling tidak berprinsip (?). Kita dengan senang hati dan bersemangat akan meminta transparansi dari pemerintah, tetapi sejak bangku sekolah kita tidak transparan dari mana nilai akhir maupun nilai kita lainnya berasal.

Kita akan sangat bersemangat membela KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau mencerca anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) ketika mereka tersandung kasus korupsi. Namun, kita juga menutup mata ketika kita saling mencontek atau tipsen (titip absen).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ironi tersebut lantas memunculkan sebuah pertanyaan, mengapa penting untuk memprioritaskan perang antikorupsi di atas? Tentunya jawaban kita akan beragam, tetapi menurut saya pada dasarnya kita akan bertemu dengan dua jawaban:

1. Sehingga pemerintahan akan menjadi lebih efektif dan efisien, pembangunan negara lancar, dan Indonesia bisa maju pada akhirnya dan
2. Sehingga pemerintah kita akan bersih; pemerintahan yang bersih akan menghasilkan masyarakat Indonesia yang bersih dari atas ke bawah.

Pada dasarnya, saya tidak sepakat dengan kedua asumsi yang naif dan kurang berdasar tersebut. Namun, poin pertama akan saya elaborasikan di lain kesempatan. Untuk artikel ini, fokus bahasan akan ada di poin kedua.

Bagaimana asumsi kedua ini muncul? Well, mungkin sejumlah besar dari kita percaya bahwa pemimpin adalah segala-galanya; bahwa pemimpin yang bersih akan otomatis menciptakan masyarakat yang bersih; seolah-olah bahwa pemimpin yang bersih hanya perlu sekali mengucapkan mantranya dan semua rakyatnya (yang korup) berubah.

Sayangnya asumsi demikian tidak ubahnya sebuah imaginasi. Hal demikian tidak akan pernah terjadi. Pemimpin (atau pemerintahan) yang bersih tidak akan mampu (dalam lima atau sepuluh tahun) mengubah apa yang tertanam di alam pikiran dan budaya kita berabad-abad lamanya. Dia mungkin tidak korup, tetapi tidak mungkin tidak mengizinkan korupsi terjadi.

Tentu saya mendukung segala upaya antikorupsi. Namun, kita harus sadar akan skala permasalahannya sehingga ekspektasi (atau target) kita menjadi lebih realistis.

Masalah terbesar dari masyarakat Indonesia adalah mereka tidak sadar skala dari masalah korupsi ini. Mereka tidak sadar bahwa tantangan terbesarnya tidaklah membongkar skandal korupsi dan menangkap pejabat tinggi yang korup, tetapi untuk mencuci otak mereka dan menghapus budaya korup yang tertanam dalam-dalam.

Tidak tepat untuk jika korupsi dianalogikan sebagai seekor ular. Memotong kepala ular (pemimpin yang korup) seharusnya mematikan seluruh ular, tetapi tidak untuk korupsi di Indonesia. Korupsi di negara kita wujudnya seperti cacing; potong satu bagian tubuhnya, regenerasi akan mengembalikannya normal.

Intinya, masyarakat kita naif; mereka tidak sadar – atau menolak untuk sadar – akan skala masalah korupsi. Tanpa upaya mencuci otak masyarakat secara sistematis (baca: mendidik masyarakat), masalah korupsi akan terus meregenerasi dirinya dan pada akhirnya, lembaga sekuat apapun (KPK atau lainnya) akan kewalahan dan kalah.

Itu adalah fakta – meskipun sama sekali tidak menyenangkan. Kita harus realistis dan menerima fakta bahwa hanya persoalan waktu sebelum KPK atau lembaga antikorupsi lainnya harus menerima kekalahannya di negara dengan budaya seperti Indonesia.

Satu-satunya cara yang berkesinambungan dan menawarkan solusi menghentikan masalah korupsi adalah melalui pendidikan. Tentunya banyak orang akan mengabaikannya karena efek dari pendidikan baru akan terlihat belasan tahun dari awal proses tersebut. Namun, kita harus insyaf bahwa ini adalah satu-satinya solusi jangka panjang.

Tidak akan mungkin menghapus budaya korup di negeri ini kecuali institusi pendidikannya berhenti menanamkan budaya korup ke pelajar-pelajarnya – atau berhenti membiarkan budaya korup tertanam di otak pelajarya. Sudah jelas bagi saya bahwa kalangan pendidik maupun walimurid kita umumnya mengabaikan hal ini.

Menjadi praktik lumrah bagi pelajar SD, SMP, hingga SMA (terutama di kota besar) untuk bekerja sama (atau bahkan membeli jawaban) sebagai solusi akhir menghadapi ujian akhir. Mungkin ini sepele, tetapi secara tidak sadar efeknya adalah menanamkan budaya korup – dan dalam konteks lainnya, menghasilkan pelajar dengan kualitas intelektual rendah. Omong kosong jika kita tidak sadar semua fakta ini.

Pada akhirnya, harus disadari bahwa korupsi di masyarakat Indonesia adalah sebuah feature – bukan bug. Permasalahan ini adalah kultural dan ini telah tertanam dalam di otak kita. Dan kita harus sadar bahwa menghapus dan mengganti sebuah pola pikir akan membutuhkan waktu belasan atau bahkan puluhan tahun.

Jadi, turunkan ekspektasi kita dalam perang melawan korupsi di Indonesia. Untuk saat ini, bagaimana kita menyikapi masalah korupsi di negeri ini? Well, just live with it.
* Penulis merupakan koordinator dari Pusat Kajian Indonesia Berbicara. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER