Surabaya, CNN Indonesia -- Memang suatu kebanggan bila produk asli milik negeri sendiri memiliki tempat di lingkup internasional. Wacana tentang bahasa Indonesia ‘go’ internasional bukan lagi hal baru di telinga banyak orang.
Wacana tersebut muncul pertama kali dalam sidang ke-41 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia. Pada 13 Maret 2002, sidang ke-7 Majelis Sastra Asia Tenggara di Makasar juga membahas tentang bahasa Indonesia yang akan digunakan sebagai bahasa resmi ASEAN.
Jumlah penutur bahasa Indonesia yang mencapai angka lebih dari 250 juta orang, menjadikan bahasa Indonesia menduduki peringkat ke-3 di Asia dan peringkat ke-26 di dunia. Faktor tersebut menunjukkan potensi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, sudahkah Indonesia mempunyai mental yang siap untuk menguatkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa tuan rumah di negeri sendiri? Juga, apakah status ‘internasional’ itu dapat tercapai bila kata ‘cinta’ terhadap bahasa Indonesia sendiri sudah kehilangan arti?
Negara dan rakyat harus memiliki visi yang sama dan yakin dengan rasa bangganya terhadap bahasa Indonesia agar eksistensi bahasa Indonesia dapat terealisasikan di negeri sendiri juga di dunia internasional.
Pengaruh lokal dan asing Bahasa pada hakikatnya adalah alat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dengan berkomunikasi, ketidaktahuan seseorang terhadap suatu hal akan berkurang dengan informasi yang diterimanya. Bahasa memiliki peran penting dalam proses interaksi. Interaksi yang berhasil akan menghasilkan sebuah pemikiran yang dapat dipahami orang yang terlibat dalam interaksi tersebut. Ide yang muncul dari beragam pemikiran akan menimbulkan pemaknaan bersama yang disetujui orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi yang terjadi. Hal tersebut dapat terwujud karena adanya persamaan pemahaman terhadap bahasa yang digunakan. Bahasa inilah yang akan menghubungkan berbagai elemen masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial.
Pada prakteknya, di Indonesia sendiri tidak semua orang menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Banyak sekali orang yang bahkan tidak memahami secara mendalam tentang bahasa Indonesia. Bahasa lokal masih memiliki dominasi yang kuat di kalangan masyarakat. Sifat kedaerahan yang melekat membuat bahasa lokal memiliki pengaruh yang kuat terhadap bahasa nasional. Lagi-lagi ‘power’ suatu budaya sangat menentukan instrumen yang digunakan seseorang dalam kesehariannya. Hal itu bahkan tidak bisa disebut sebagai bentuk rasa bangga yang kehilangan makna terhadap bahasa Indonesia. Namun di sisi lain, upaya pelestarian bahasa nasional akan memiliki kendala karena adanya kerberagaman bahasa yang digunakan di Indonesia. Bahasa lokal terasa lebih dekat dan bersahabat di telinga karena kita dilahirkan di lingkungan dengan nuansa budaya lokal yang kental.
Bagaimana pula pengaruh asing yang sangat cepat membaur dengan budaya di Indonesia? Batasan-batasan yang seharusnya tegas menjadi semu dan sulit untuk di-
filter sesuai budaya negeri sendiri. Eksistensi bahasa Indonesia juga semakin dipojokkan dengan bahasa asing yang dinilai lebih memilki nilai jual.
Realitas yang dihadirkan sekarang ini sudah sangat jelas, bahasa asing secara perlahan mendoktrin masyarakat agar disebut kaum ‘kekinian’. Kabanggaan yang harfiah terhadap negeri sendiri seolah mengalami pergeseran makna. Terbukti dengan banyaknya media luar ruang yang menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia.
Penulisan
regency untuk menamai sebuah komplek perumahan, menjadi bukti krisis kepercayaan diri masyarakat. Bahasa asing dinilai lebih komersil bagi suatu ‘brand’ yang dipasarkan. Mental yang termakan oleh pengaruh globalisasi membuat hal tersebut dianggap wajar. Krisis nasionalisme, krisis konsistensi dianggap sebagai kenormalan di era teknologi modern sekarang ini.
Krisis Identitas Anak-anak zaman sekarang akan merasa menjadi bagian dari kaum ‘hits’ bila ‘caption’ yang dimuat pada media sosialnya menggunakan bahasa Inggris. Suatu penempatan yang keliru menjadikan porsi bahasa Indonesia tidak menempati tahtanya di negeri sendiri.
Bila negara dan rakyat tidak yakin dan tidak memiliki rasa bangga terhadap bahasa nasional, maka akan sulit mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia. Sebab, upaya mendorong bahasa Indonesia tidak didukung dengan moral yang konsisten terhadap budaya bangsa. Internasionalisasi bahasa Indonesia akan terus menjadi sebuah wacana tanpa ada bukti nyata. Pengaruh globalisasi telah membentuk dimensi ruang yang menggiring individu untuk menggunakan bahasa yang dipahami individu lain di luar Indonesia.
Untuk memunculkan bahasa Indonesia ke permukaan diperlukan kontribusi nyata dalam pengaplikasiannya di kehidupan. Bagaimana caranya untuk bisa mendapat tahta internasional bila di negeri sendiri terjadi krisis identitas. Krisis identitas terjadi karena mental
inlander kita sendiri. Konstruksi sosial juga berpengaruh hingga bahasa asing bisa sedemikian diiyakan di negeri ini. Pasti akan terwujud internasionalisasi bahasa Indonesia dengan semangat nasionalisme dan adanya konsistensi yang dilakukan terus menerus.
(ded/ded)