Jakarta, CNN Indonesia -- Kamu pernah mendengar teori
labelling? Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang akan berperilaku berdasarkan apa yang orang lain katakan tentang dirinya. Misalnya, jika anda sering mengatakan kepada anak anda “Dasar kamu anak nakal”, “Kamu jangan nakal ya”, dan lain-lain, maka anak anda justru akan bertindak semakin nakal.
Teori
labelling ini memang mengarah pada penyimpangan perilaku seseorang. Tapi siapa sangka ternyata jika
labelling ini diganti ke arah sebaliknya, yaitu
labelling positif, hal ini akan memberi manfaat pada kehidupan sehari-hari. Contohnya pembelajaran di sekolah.
Chornelis U. R. Palanggaringu dan Andreas Aldyanto Nura dari SMAN 1 Waingapu telah membuktikannya. Mereka adalah finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) 2016 yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berawal dari pengalaman pribadi Chornelis dan juga budaya masyarakat NTT yang cenderung keras terhadap anak, kedua remaja ini mulai berpikir bagaimana untuk mengatasinya. Banyak guru di sekolahnya yang masih sering kali menggunakan kata-kata tak baik pada anak muridnya. Seperti “Kamu bodoh”, “Kamu tidak bisa apa-apa”, “Begini saja tidak bisa”, dan lain-lain.
Hal tersebut memberi label yang buruk pada para siswa. Dari sinilah Chornelis atau yang kerap disapa Riki ingin membuat perubahan. Caranya dengan memberi siswa
labelling positif saat pembelajaran di kelas.
Yang dijadikan objek penelitian adalah siswa kelas 10 IPS 1 dan 10 IPS 2 di SMAN 1 Waingapu. Selama kurang lebih 2 minggu mereka tanpa sadar menjadi objek pemberian
labelling positif. Mata pelajaran Ekonomi dijadikan pilihan objek penelitian, itu karena pelajaran ini selalu mendapat predikat E saat Ujian Nasional. Jadi Riki bersama tim mencoba mencari solusi untuk meningkatkan predikat ini.
Selama penelitian berlangsung, siswa diberikan
labelling positif dengan mekanisme yang telah diatur. Guru dalam hal ini berperan sebagai pelaku, dan melakukan mekanisme yang ada. Seperti, mengatakan “Pelajaran ini mudah bagi kalian”, “Kalian pintar”, “Kalian tidak bodoh”, “Soal ini gampang untuk kalian”, dan sebagainya. Kata-kata ini diucapkan dengan inerval dan rentang waktu yang telah ditentukan.
Dan hasilnya sangat menggembirakan. Rata-rata nilai pelajaran Ekonomi di kedua kelas ini meningkat. Kelas 10 IPS 1 sebelumnya memiliki rata-rata nilai 75,5 dan setelah
labelilling positif meningkat menjadi 79,85. Dan kelas 10 IPS 2 sebelumnya 58,9 meningkat menjadi 69,2.
Riki dan Andreas berharap bahwa semua guru di Indonesia menerapkan
labelling positif ini dilakukan pada saat pembelajaran di kelas. Dan mereka juga berharap jika suatu saat metode ini akan dimasukkan pada urikulum pendidikan nasional. Satu hal yang juga tak kalah menggembirakan dari tim SMAN 1 Waingapu ini adalah, mereka merupakan perwakilan pertama NTT di ajang LKIR Nasional. Mereka baru pertama kali ikut kompetisi ini dan berhasil lolos ke final.
(ded/ded)