Jakarta, CNN Indonesia -- Pada Jumat (14/10), rombongan Front Pembela Islam (FPI) melakukan demonstrasi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jln. Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Mereka melakukan hal tersebut agar Gubernur Basuki Tjahaja Purnama segera dipenjarakan terkait dugaan penistaan agama karena mengatakan Surat Al-Maidah ayat 51 menjadi alat politik saat masyakat untuk tidak memilihnya.
“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu,” itulah yang dikatakan Ahok, saat menjelaskan program kerja sama Pemerintah Provinsi DKI dan Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta dalam bidang perikanan di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.
Video itu kemudian diposting ulang di jejaring sosial, tapi dengan melakukan suntingan pada beberapa kata yang krusial. Durasi video yang tadinya 1 jam 48 menit, dipotong jadi 31 detik saja, dan beberapa kalimat disunting lalu ditambah status media sosial yang provokatif. Sehingga makna kalimat asli di video itu menjadi bergeser. Alhasil, Ahok kemudian dituding menghina kitab suci.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada kasus lain yang menimpa salah satu selebgram, Karina Novilda atau biasa dipanggil Awkarin. Peraih nilai UN tertinggi pada 2013 di Kepulauan Riau itu diduga menyebarkan kata-kata yang tidak baik dan membodohi kaum muda lewat videonya bersama Young Lex. Video tersebut membuat geram Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pihak KPAI menyeret Awkarin ke ranah hukum dengan melaporkannya ke Kominfo.
Namun, penyelesaian kasus ini hanya berupa mediasi antara Awkarin, KPAI, dan Kominfo. Setelah mediasi itu, akhirnya Awkarin dan Young Lex meminta maaf dan berjanji tidak akan membuat video yang membodohi anak atau generasi muda.
Melihat dua kasus tersebut, ada satu hal yang terkait yaitu masalah bahasa. Jika melihat kedua video tersebut, ucapan mereka telah menyindir masyarakat atau golongan tertentu. Wajar-wajar saja mengeluarkan opini melalui media sosial. Akan tetapi, patut diperhatikan juga penggunaan bahasa yang baik agar emosi masyarakat tidak mudah terpancing. Atau dalam kasus Ahok, patut juga pengguna Internet menyebarkan sesuatu dalam kalimat yang utuh, tidak disunting untuk keperluan tertentu, sehingga tidak menimbulkan mispersepsi.
Dan pada akhirnya, apa yang disampaikan berdampak luas bagi masyarakat. Bisa dilihat dari berbagai reaksi negatif publik atas dua kasus yang saya sebutkan di awal tulisan. Tak jarang juga mereka memberikan komentar negatif.
Dari perspektif komunikasi, itu sangat wajar, sebab komunikasi bersifat dua arah. Adanya hubungan timbal balik antara komunikator dan komunikan. Komunikator yang memberikan pesan baik, maka komunikannya pun akan mengembalikan pesan tersebut dengan baik. Namun sebaliknya, jika komunikator berkata kasar, komunikan akan mengembalikan dengan bahasa yang kasar juga.
Patut diingat, komunikasi bersifat irreversible, artinya perkataan awal yang diucapkan oleh seseorang, tidak bisa ditarik kembali. Dari fenomena tersebut, wajar saja mereka mendapat komentar keras dari sebagian masyarakat. Sebab, ucapan mereka pertama kali, sulit untuk dilupakan oleh khalayak.
Terlebih lagi Ahok sebagai orang nomor satu di Jakarta. Situasi yang dihadapinya telah mempengaruhi elektabilitasnya sebagai calon gubernur petahana. Khusus Awkarin sebagai salah satu murid cerdas pada 2013, ini menjadi batu sandungan, karena namanya sudah terlanjur jelek di masyarakat.
Makna Bahasa Menurut KBBI, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri, percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; dan sopan santun. Dalam undang-undang, dijelaskan arti Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika merujuk dua pengertian di atas, maka Bahasa Indonesia adalah bahasa yang resmi digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia dengan sebaik-baiknya. Dalam fungsinya, bahasa Indonesia seharusnya bisa menjadi pemersatu dan jati diri bangsa. Fungsi tersebut tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Pantas saja, jika Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menyatakan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang dijunjung rakyat Indonesia.
Melihat Sejarah Sejarah membuktikan, Bahasa Indonesia lahir pada 28 Oktober 1928. Saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam rapat pemuda dan berikrar bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Merujuk dari sejarah tersebut, kita sebagai penerus generasi bangsa, seharusnya bisa mempertahankan keutuhan Bahasa Indonesia dengan benar. Bahasa seharusnya bisa menjadi alat untuk berinteraksi dan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Di berbagai belahan dunia, tentunya bahasa nasional menjadi identitas sebuah negara, walaupun di dalamnya terdapat bahasa daerah. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menggunakan bahasa dengan bijak. Meskipun di negara terpencil pun, bahasa adalah sebuah identitas yang tak ternilai harganya.
Di zaman serba canggih seperti ini, tentunya perkembangan informasi semakin cepat untuk diserap dan mudah ditemukannya berbagai macam bahasa. Berbeda dengan zaman penjajah, mereka harus menemukan semangat jati diri untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi NKRI.
Dengan berkembangnya teknologi, bahasa kini mudah dirangkai sedemikian rupa untuk menciptakan bahasa baru. Wajar saja, mengingat suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari berkembangan informasi atau isu tertentu dalam masyarakatnya.
Sebagai contoh, kata “Kepo” mulai berkembang sejak tahun 2010-an. Kepo adalah akronim dari Knowing Every Particular Object. Tidak diketahui sejak kapan kata tersebut ditemukan dan dari mana asal usulnya. Akan tetapi, remaja saat ini sudah populer dengan kata tersebut dan sering digunakan dalam keseharian.
Dari contoh tersebut, kita dapat mengetahui bahwa bahasa (apapun itu), sangat mempengaruhi hidup kita. Bahasa yang kita gunakan saat ini adalah hasil pembelajaran yang kita dapat selama menuntut ilmu di mana pun, termasuk lingkungan sekitar.
Kita sebagai orang Indonesia, tentunya ingin menjadi bangsa yang baik (secara bahasa) di mata dunia. Lantas untuk meningkatkan itu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, biasakan berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan sopan. Meskipun bahasa tutur dan bahasan tulisan berbeda. Tetapi, dalam prakteknya hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebab, itu merupakan salah satu acuan untuk mencari kata yang sesuai dengan Bahasa Indonesia
Kedua, hindari berbahasa kasar. Banyak fenomena remaja saat ini suka mengumpat dan berbicara dengan kata-kata kasar di tempat umum. Padahal itu tidak sopan dan menyalahi makna bahasa itu sendiri. Banyak dari kita tentunya yakin, jika orang tua dan guru kita tidak mengajarkan hal ini. Terkadang faktor lingkungan buruk juga membuat sifat dan perkataan tersebut menjadi hal yang wajar.
Ketiga, peran pemerintah. Dalam proses penegakan Bahasa Indonesia yang baik, pemerintah harus menjadi yang terdepan untuk menggalakkan hal ini. Degradasi Bahasa Indonesia saat ini sudah mulai kalah dengan bahasa yang lebih populer di kalangan remaja. Padahal, masyarakat sudah tahu bahasa mana yang seharusnya digunakan.
Undang-undang bahasa harus diperketat lagi agar tidak mudah dipermainkan oleh orang atau sekolompok organisasi tertentu. Peran guru juga tak kalah penting, karena mereka sebagai perantara pemerintah untuk menyukseskan pendidikan yang baik, termasuk berbahasa.
Apabila bahasa digunakan dengan baik, mungkin kejadian seperti Ahok dan Awkarin tidak terjadi dengan semudah itu. Pendidikan bahasa sangatlah penting. Jangan sampai kita bodoh dengan identitas negara kita sendiri. Kita tidak boleh kalah dengan bahasa asing, relakah kita bodoh terhadap bahasa nasional sendiri?
(ded/ded)