-- Literasi sepak bola Indonesia dewasa ini berkembang begitu pesat. Salah satu bukti perkembangan tersebut adalah lahirnya penulis-penulis baru seperti Zen Rahmat Sugito, Pangeran Siahaan, atau Edward S. Kennedy, yang menggantikan nama-nama lawas semisal Sindhunata hingga Gusdur.
Seiring dengan lahirnya para penulis itu, lahir pula berbagai laman khusus sepak bola macam Pandit Football, Football Fandom Indonesia, atau Indonesia FC yang sangat digandrungi masyarakat. Itu dapat dilihat dari jumlah pembaca sebuah tulisan yang mencapai 2000 orang lebih tiap harinya.
Laman-laman yang lahir tersebut lebih banyak menyajikan konten nonberita. Konten-konten yang disajikan juga begitu apik sehingga nikmat dibaca.
Pemaparannya jelas, analisisnya tajam. Namun, dari sekian banyak konten itu, yang membahas sepak bola Indonesia hanya sedikit. Pandit Football, misalnya. Media yang masyhur sejak sekitar dua tahun yang lalu itu hanya memberi porsi yang sedikit untuk bahasan sepak bola Indonesia. Kira-kira hanya satu sampai dua artikel sepak bola Indonesia per tiga hari yang dimuat di sana.
Bandingkan dengan artikel yang membahas sepak bola luar, katakanlah sepak bola Eropa, yang dalam sehari bisa memuat dua sampai tiga artikel atau bahkan lebih.
Media besar lain, semisal Fandom Indonesia juga serupa dengan Pandit Football. Tak banyak tulisan yang membahas sepak bola Indonesia yang mereka hasilkan. Hanya secuil dan lebih sedikit dibandingkan dengan media yang saya sebut sebelumnya. Begitu pula dengan media baru macam Indonesia FC.
Jika diperhatikan, sebetulnya masih ada media yang memberi porsi khusus yang cukup banyak terhadap sepak bola Indonesia, seperti detik.com, sleman-football.com, atau simamaung.com. Namun, media-media itu kebanyakan berisi berita (baik straight news maupun feature news) yang menurut survei kecil-kecilan saya beberapa waktu lalu, konten sepak bola berjenis berita tidak lagi menarik perhatian.
Mereka, para generasi kiwari (kontemporer) itu, tidak lagi membutuhkan sekadar berita. Lebih dari itu. Mereka membutuhkan ulasan yang mendalam, dilengkapi dengan statistik dan infografis, yang bisa memuaskan hasrat dan syahwat mereka akan rincian taktik yang diperagakan oleh para pelatih (Zen RS, 2016: 94). Atas dasar itulah media macam Pandit Football, Football Fandom Indonesia, atau Indonesia FC, lahir. Namun, sekali lagi, media-media itu seolah belum memberikan perhatian lebih terhadap sepak bola Indonesia lewat tulisan-tulisannya.
Banyak Faktor
Fenomena-fenomena itu sejujurnya mengusik batin saya. Suatu ketika, saya yang sebenarnya belum lihai menulis ini, pernah mengajak beberapa rekan untuk membuat media dalam jaringan nonberita yang khusus mengupas-tuntas sepak bola Indonesia. Kira-kira semacam Pandit Football atau Fandom, tetapi khusus membahas sepak bola Indonesia. Namun, karena banyak faktor, rencana itu hanya menjadi angan-angan.
Draft yang saya susun sedemikian rupa harus tetap tersimpan sebagai draft. Dengan begitu, kepada media-media yang sudah ada saat inilah harapan saya digantungkan.
Terkait sedikitnya tulisan sepak bola Indonesia yang beredar, saya coba mencari akar permasalahannya. Dan, sejauh penelusuran dan pencarian saya, kondisi ini terjadi akibat minim atau bahkan tidak adanya sesuatu yang bisa dijadikan sumber untuk mencari statistik seorang pemain atau klub tertentu. Sedikit cerita, saat saya mengajak beberapa kawan untuk membuat media khusus sepak bola Indonesia tadi, ada seorang kawan yang berujar begini:
“Media sepak bola khusus Indonesia, ya? Menarik, sih. Tapi, kita bakal susah cari sumber utama untuk melihat statistik pemain atau klub secara rinci. Kalau di Eropa kan ada sumber macam Squawka, Whoscored, atau Transfermarkt. Masak kita harus pakai Wikipedia,” ujarnya saat itu.
Sampai sekarang, kalimat itu benar-benar saya ingat dan terngiang di kepala. Memang benar, di Indonesia saat ini belum ada lembaga atau media serupa Squawka, Whoscored, atau Transfermarkt tadi. Itu pulalah yang mungkin membuat media-media termasuk para penulisnya kesulitan atau enggan untuk menulis sepak bola Indonesia.
Baru-baru ini, mencuat nama labbola.com sebagai penyedia statistik sepak bola Indonesia. Namun, dari yang saya lihat –tanpa bermaksud menyudutkan– media atau lembaga tersebut isinya kurang lengkap. Kalah jauh dibandingkan dengan Squawka atau Transfermarkt tadi.
Hal lain yang memengaruhi sedikitnya tulisan sepak bola Indonesia adalah carut-marutnya sepak bola negeri ini. Carut-marut, terutama menyangkut tidak adanya kompetisi membuat bahan yang menarik untuk dijadikan cerita hanya sedikit bahkan nyaris tidak ada. Ada sih cerita, ya, cerita soal sepak bola Indonesia yang carut marut itu.
Selain dua hal di atas, hal lain yang memengaruhi adalah sebuah pemikiran yang menganggap sepak bola luar negeri lebih menarik karena banyak pemain bintang yang berkecimpung di sana.
Kondisi yang memprihatinkan ini, jika terus berlangsung akan berdampak terhadap sepak bola Indonesia sendiri. Orang-orang Indonesia akan lebih hafal nama-nama pemain dan legenda klub sepak bola Eropa dibandingkan dengan klub di Indonesia. Dan, yang terburuk adalah masyarakat tidak lagi tertarik menikmati sepak bola lokal.
Mari Menulis Sepak Bola Indonesia
Hampir segala aspek yang ada dalam suatu negara dipengaruhi oleh pemerintah. Untuk itu, terkait masalah-masalah ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Peran tersebut dapat berupa penyediaan lembaga nasional yang secara khusus menyediakan seabrek data dan statistik sepak bola Indonesia. Atau, setidaknya mereka bisa memfasilitasi media atau lembaga yang sudah ada seperti labbola.com tadi agar data dan statistik yang disediakan lebih berlimpah.
Kemudian, setelah pemerintah berikut lembaga statistik menyediakan data-data serta berbagai macam statistik, para penulis bisa dengan mudah menganalisis dan mengeksplorasi ide yang mereka punya. Selanjutnya media-media tempat para penulis bernaung akan menyebarluaskan berbagai fakta dengan cara menarik untuk memperkaya pengetahuan pembaca seputar sepak bola Indonesia. Sebab, media memiliki cakupan yang luas dan dapat memberi perubahan dan pengetahuan secara signifikan (Karlinah, Ardianto, Komala, 2007: 58).
Menekankan dan membudayakan pentingnya menulis sepak bola Indonesia juga harus dilaksanakan. Penulis kondang, Zen RS pun, dalam sebuah feature di majalah Djatinangor juga berkata demikian. Penekanan pentingnya menulis sepak bola itu dapat dilakukan oleh pemerintah, perusahaan, atau media tertentu dengan mengadakan kompetisi menulis, misalnya. Dengan begitu, secara tidak langsung, masyarakat terutama pemuda seolah tergerak untuk mengamati dan menganalisis sepak bola lokal dan kemudian menuliskannya. Sebab, para pemuda inilah yang nantinya akan meneruskan tonggak estafet kepenulisan sepak bola yang telah berlangsung sejak sekian lama. Mulai dari Gusdur dan Sindhunata, hingga sekarang Zen RS dan Pangeran Siahaan.
Tentunya kita berharap agar para pemuda ini nantinya akan lebih banyak menulis sepak bola Indonesia atau bahkan membuat media khusus sepak bola Indonesia. Sebab, sepak bola nasional sendiri punya banyak cerita yang bisa dituliskan. Seperti katakanlah perkembangan kompetisi usia muda, pemain yang pernah membela dua tim yang menjadi rival, berlimpahnya bakat sepak bola di timur Indonesia, hingga tentara dan polisi yang membentuk klub bola. Eh.
Jadi, mari budayakan menulis sepak bola lokal. Hidup sepak bola Indonesia!