Jakarta, CNN Indonesia -- - Judul : Surat dari Bapak, Jalan untuk Kembali
- Penulis : Gol A Gong
- Penerbit : Puspa Swara
- Tebal : 170 halaman
- Cetakan : 2016
- Harga : 39.000
Farhan, adalah mahasiswa semester satu Universitas ternama di Indonesia, yang banyak menjadi mimpi calon mahasiswa untuk berkuliah. Ia anak semata wayang dari sepasang suami istri yang masing-masing berprofesi sebagai guru. Bapak, Muhammad Akbar adalah Kepala Sekolah SMA Tirtasari sedang sang ibu, Ratna, adalah guru SMP Naga Sutra.
Meski dibesarkan bak anak semata wayang yang kemauannya selalu dituruti, tidak membuat Farhan menjadi anak yang manja dan senantiasa bergantung kepada kedua orang tuanya yang tak segan mengabulkan apapun permintaan anaknya. Terbukti, dalam kisah ini, menginjak bangku kuliah di tahun pertama sudah membuat Farhan sadar bahwa jenjang yang ia pijaki saat ini berbeda, jauh lebih tinggi, pikiranya sudah panjang bagaimana bertanggung jawab pada hidup sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu pula yang membuat hubunganya renggang dan berujung perpisahan dengan Linda pacarnya, yang meski sudah sama-sama menginjak bangku kuliah, menurut Farhan, Linda sama sekali tidak mencoba dewasa dan masih bertingkah seperti anak sekolah.
Konflik dimulai oleh akun kardus di Facebook yang memborbardir keseharian pemuda ini dengan sindiran, tudingan, dan kata-kata kasar. “Dasar Anak Koruptor!” kata-kata yang membuat Farhan gundah gulana dalam sebagian cerita di buku ini. Akun-akun palsu itu menuduh ayah Farhan, Akbar melakukan tindak korupsi, memanfaatkan jabatanya sebagai Kepala Sekolah.
Puncak konflik ini meletus ketika sang ayah tertangkap tangan menerima uang persenan di kediamanya. Membuat dunia Farhan serasa kiamat, berguncang dengan dahsyatnya, kekhawatiranya pada sodoran akun kardus di media sosial terbukti, melihat ayahnya digiring oleh komisi anti rasuah Negeri Mutiara.
Konflik ini pula yang mempertemukan Farhan dengan Siti Fatimah gadis Benawe keturunan Yaman, yang membuat hatinya nyaman setelah beberapa waktu gusar bersama Linda. Ia begitu kagum dengan cara pandang, dan kearifan Fatimah dalam memandang dan menjalankan hidup. Ibarat langit dan bumi jika dibandingkan dengan cara Linda.
***
Buku ini sudah jelas maksud dan tujuannya ketika dibuka dari sampul hingga beberapa halaman awal, “Berani Jujur Hebat!” tulisan berlatar lingkaran merah di sudut kiri atas sampul buku, adalah slogan yang tidak asing, gencar dimasyarakatkan untuk memberi pemahaman pentingnya pengenalan dan pendidikan anti korupsi. Pun buku ini membawa misi yang sama, jika mengikuti rajutan kisah yang dikemukakan Gol A Gong di Buku ini.
Buku ini bagian dari Perlawan Indonesia Membumi, sebuah inisiatif yang dirancang oleh KPK menggandeng Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), menjadikan buku sebagai senjata memerangi tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Negara tercinta Indonesia. Terlihat dari beberapa buku yang diterbitkan Puspa Swara, salah satunya karya Gol A Gong ini bertemakan kisah perlawanan kepada korusi dan pendidikan anti korupsi.
Cerita yang dihadirkan yang memiliki nama asli, Heri Hendrayana hadir dalam formula premis cerita yang sederhana. Namun, kesederhanaanya ini menjadikan nilai lebih cerita Farhan dan konflik korupsi yang dihadapinya. Sebagaimana kita tahu Gol A Gong memang piawai dalam meramu cerita yang mudah dicerna oleh masyarakat banyak, sebagaimana kita ketahui hal itu mengantarkan novel-novelnya diangkat ke layar kaca sebagai tontonan rakyat. Kita lihat bagaimana suksesnya Balada Si Roy yang menjadi primadona pembaca buku pada masanya.
Farhan sebagai tokoh sentral dalam cerita ini, digambarkan sebagai sosok pemuda yang hampir sempurna, sebuah kriteria ideal pemuda yang hidup di era millenial. Bagaimana apiknya sosok Farhan menentang adagium bahwa anak semata wayang “pakemnya" adalah manja dan bergantung kepada orang tua.
Farhan hadir dengan karakter bersahaja, bijak dan penuh pemikiran yang matang sebelum bertindak. Bagaimana ia digambarkan mengolah pikir dan rasa menghadapi kebencian akun-akun kardus yang menggerayangi media sosialnya, hingga ia mengelus dada mengurungkan nafsunya memaki balik para akun palsu tersebut. Bagaimana ia menahan layangan tanganya untuk menampar muka Linda yang lantang meledek ia sebagai anak koruptor. Sosok Farhan dalam cerita ini layak dijadikan teladan bagi pembaca wabil khusus para pemuda.
Cerita ini mengambil latar tempat yang unik, Gol A Gong menamai latar tempat dalam cerita ini bukan dengan nama sebenarnya latar tersebut. Farhan dan keluarga hidup di Provinsi Bane Tenda, yang apabila kita mengikuti alur kisah cerita ini dapat memastikan yang dimaksud adalah Provinsi Banten. Tanggerang dikamuflasekan sebagai Tangganama, Depok sebagai Destra, Bogor sebagai Bonggol, dan Negara Indonedia sendiri diberi nama Negeri Mutiara. Menjadi nilai keunikan dan membuat kita serasa membaca cerita di negeri entah berantah, tapi di satu sisi kita paham sekali kalau itu di Indonesia.
Penulis pun, dalam menjalankan aksi memberikan pesan anti korupsi dalam ceritanya dengan unik pula. Sebagaimana ia memberi nama pada wilayah atau daerah. Ia tidak menuding secara langsung tokoh-tokoh yang terjerat KKN di Bana Tenda (Banten) sebagai contoh pihak antagonis dalam cerita ini. Bagaimana ia kembali mengkamuflasekan nama-nama tokoh yang terjerat korupsi tersbut. Ia tidak menuding langsung, tapi menyuguhkan satire yang mengangkat alur cerita kian unik.
Sederhana, di sisi lain karena kesederhanaan cerita di dalam buku ini, beberapa alur dalam buku agak mudah ditebak ke mana akan bermuara. Bagaimana tiba-tiba sosok Fatimah hadir sebagai sosok gadis antitesis dari Linda, yang menjadi tempat rasa dan cinta Farhan berlabuh. Bagaimana kemudian Fatimah akan menjadi penyejuk dalam kegaduhan hati Farhan menhadapi konflik dirinya. Mudah terprediksi.
Selaian menjadi media menjabarkan nilai-nilai anti korupsi, bagaimana pola dan bentuk korupsi serta contoh kebobrokan akibat korupsi, cerita ini juga mengajarkan kita bagaimana bersikap sebagai pihak keluarga dari pelaku korupsi, sikap yang bijak dan arif. Serta juga mengajarkan bagaimana kita sebagai pihak luar, bersikap kepada keluarga dari pelaku korupsi. Bahwa tidak boleh ada penyamarataan antara pelaku korupsi dengan pelaku anggota keluarganya. Tidak boleh menekan anggota keluarga yang sudah dalam tekanan.
Hal itu terlihat, bagaimana sikap bijak Farhan sebagai keluarga pelaku tindak korupsi menghadapi media, dan menghadapi tentangan hidup yang seketika menjadi begitu berat. Juga sikap kooperatif ayahnya kepada KPK mengusut tuntas kasus tersebut, sebagai bentuk penyesalan yang mendalam atas tindakannya dan ingin segera menemukan jalan untuk kembali kepada kebenaran.
Saya merekomendasikan buku ini kepada siapapun karena ceritanya pas untuk siapa saja. Untuk mereka yang ingin mengenalnilai-nilai kearifan berbeda yang ditawarkan sebuah bacaan, sebuah pelajaran berharga yang disuguhkan sebuah buku. Juga untuk mereka yang baru mengarungi dunia baca, karena tidak ada kata terlambat untuk memulai membaca, karena kesedrhanaan ceritanya, dan nilai-nilaiyang terkandung di dalamnya.
(ded/ded)