Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai mahasiswa yang kini sedang menempuh tugas akhir menyusun skripsi apakah kamu termasuk satu di antara mahasiswa yang kesulitan menulis? Jika benar itu artinya bukan hanya kamu sendirian mahasiswa yang kesulitan menyusun skripsi karena hambatan kemampuan menulis.
Menyusun skripsi, makalah atau laporan sering kali menjadi momok bagi mahasiswa. Tak jarang langkah pertama yang dilakukan mencari referensi skripsi-skripsi alumni sebelumnya sebagai tempat belajar instan dan praktis bagaimana cara menulis tulisan formal yang baik dan benar.
Namun tak jarang juga, justru banyak oknum mahasiswa yang menggampangkan isi skripsi alumni dari berbagai universitas dengan mengedit dan memodifikasi judul serta isi skripsi menjadi skripsi rekondisi. Cara ini sudah rahasia umum dilakukan oleh oknum mahasiswa yang mempunyai hambatan dalam kemampuan menulis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau ide dan kreatifitas sudah ada di kepala. Namun ketika berusaha menuangkan ke dalam suatu tulisan rasanya seperti sulit sekali. Ada arus intelektual yang terputus di sini. Ilmu pengetahuan yang di serap oleh mahasiswa selama mengikuti perkuliahan masih lebih mudah di serap secara visual dan dengan mendengarkan. Tapi belum sepenuhnya mampu mengembangkan hasil pembelajaran ke dalam tulisan.
Di lihat dari kebutuhannya kemampuan menulis ternyata wajib di miliki oleh mahasiswa. Tugas-tugas kuliah mulai sejak dari semester awal sampai menyusun skripsi kemampuan menulis mutlak di kuasai mahasiswa demi kelancaran mengerjakan semua tugas-tugas kuliah. Sangat miris jika setingkat mahasiswa perguruan tinggi ditemukan masih banyak yang tidak memiliki kemampuan menulis. Fakta pahit yang harus kita terima.
Kondisi ini seperti tidak pernah terlacak oleh pihak pendidik dan instansi terkait terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada kebutuhan mendasar yang sangat penting dan harus dipenuhi oleh pemerintah sejak anak-anak mengikuti pendidikan sekolah dasar. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, menulis atau mengarang menjadi salah satu cabang disiplin ilmu Bahasa Indonesia.
Pertanyaannya apakah pelajaran menulis atau mengarang itu sudah optimal diberikan kepada siswa sekolah dasar? saya pernah mencoba riset sederhana dengan mengikuti perkembangan kemampuan menulis anak saya yang kini masih duduk di bangku sekolah dasar. Riset ini berawal dari kecurigaan melihat tulisan anak saya yang masih banyak ditemukan kesalahan penulisan huruf besar dan tanda baca dalam mengerjakan tugas PR saat masih duduk di kelas 4.
Berawal dari penemuan tulisan anak ada beberapa hal yang saya tanyakan padanya. “Apa di sekolah jarang ada pelajaran menulis atau mengarang?” “Apa waktu pelajaran menulis jarang diperhatikan kerapihan tulisan, tanda baca dan penggunaan huruf besar oleh guru di kelas?” Jawab anak saya ada pelajaran menulis atau mengarang tapi frekuensinya sangat jarang sekali.
Kerapihan tulisan, penulisan huruf besar dan penggunaan tanda baca ada diperhatikan terutama pada saat pelajaran Bahasa Indonesia.
Dari situ saya mendapat gambaran alasan mengapa tulisan anak saya masih kurang rapih dan dalam penggunaan huruf besar dan tanda baca kadang masih ditemukan ada kesalahan. Flash back mengingat zaman saya SD dahulu, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran menulis menjadi perhatian utama para guru. Bukan hanya bisa menulis huruf, merangkai kata dan kalimat tapi disiplin kerapihan dalam menulis juga sangat diperhatikan. Jam pelajaran menulis mempunyai frekuensi yang cukup padat.
Selain itu pelajaran mengarang juga sering dilombakan di setiap acara kenaikan kelas, kalau sekarang di kenal dengan sebutan acara class meeting. Perlombaan mengarang antar kelas tersebut bukan hanya di ikuti oleh satu dua orang siswa perwakilan kelas saja melainkan juga seluruh siswa mulai dari kelas 4 sampai kelas 6 wajib mengikuti lomba mengarang.
Ketika saya mulai memasuki SMP barulah seperti ada yang terputus dari pelajaran menulis. Dalam mata pelajaran menulis di SMP khususnya porsi jam pelajaran menulis atau mengarang sudah tidak prioritas lagi. Kondisi ini karena faktor bertambahnya mata pelajaran di SMP yang semakin padat. Dan setelah mengenal bahasa Inggris, nampaknya mata pelajaran Bahasa Indonesia mulai ditinggalkan secara perlahan.
Alasannya sederhana, bahasa Inggris kedengarannya lebih keren dan lebih tren daripada bahasa Indonesia. Jangan heran jika pada ujian akhir kelulusan (dulu Ebtanas) rata-rata nilai mata pelajaran Bahasa Inggris lebih tinggi daripada nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Lalu bagaimana nasib mata pelajaran Bahasa Indonesia saat di bangku SMU? Tidak jauh beda dengan kondisi saat saya dibangku SMP, nasib mata pelajaran Bahasa Indonesia juga jauh ketinggalan dari mata pelajaran Bahasa Inggris.
Kesimpulannya perhatian pendidikan kita terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia memang sangat miskin sekali. Khususnya dalam pelajaran menulis bisa dikatakan menulis atau mengarang hanya dijadikan sebagai bumbu pelengkap atau kosmetik dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia. Selesai pelajaran menulis atau mengarang dilanjutkan dengan bab dan topik pelajaran lainnya dalam buku.
Mencermati kondisi ini tidak heran jika di tingkat perguruan tinggi masih banyak ditemukan mahasiswa yang mempunyai hambatan kemampuan dalam menulis. Jika mengikuti alur latar belakang masalah yang menimpa krisis menulis mahasiswa-mahasiswa sekarang adalah karena kurangnya perhatian pendidikan kita terhadap pelaran menulis mulai dari pendidikan sekolah dasar. Terutama guru sekolah dasar selaku tenaga pendidik langsung di sekolah dasar semestinya menjadi ujung tombak mengasah kemampuan menulis anak didik secara aktif, kreatif dan progresif berkesinambungan.
Begitu juga di tingkat SLTP dan SMU, pelajaran menulis mendapat perhatian khusus tenaga pendidik dengan mengembangkan kemampuan menulis semua siswa secara merata. Menulis di kedepannya bukan lagi di anggap sebagai milik siswa-siswa yang hobi menulis saja tapi menulis menjadi pondasi dasar bangsa yang besar. Dan ketika mereka memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi sebagai mahasiswa, menulis menjadi suatu kebutuhan dan kebiasaan yang sudah mendarah daging.
Tidak ada lagi ditemukan ada mahasiswa yang masih bingung dalam penulisan huruf besar, bingung dalam penggunaan tanda baca dan bingung dalam menyusun suatu kalimat dalam menyusun skripsi. Tidak ada lagi mahasiswa yang memilih jalan pintas cara cara cepat bikin skripsi, baik dengan merekondisi skripsi karya orang lain atau beli jasa pembuat skripsi. Semua hanya karena hambatan kemampuan dalam menulis.
(ded/ded)