Jakarta, CNN Indonesia -- Kantin paling ramai kalau sudah masuk jam makan siang. Buat jalan saja susah, jangankan untuk pesan makanan atau duduk. Kalau sudah begitu, saya paling malas untuk makan di sana. Biasanya alternatifnya adalah menunda makan sampai jam 1-an.
Tapi hal itu enggak seberapa jika dibandingkan harus mengajak teman saya, sebut saja si Mawar, makan siang. Kalau mau mengajak dia makan, enggak perlu tanya mau makan apa. Pasti jawabnya, “Gue harus makan nasi kalo siang. Jadi cari nasi ya,” begitu katanya.
Dan itu paling malas buat saya karena sejujurnya mencari makanan enak dengan nasi di Jatinangor itu tidak semudah yang dibayangkan kawan-kawan. Hanya beberapa tempat makan yang punya menu nasi enak dan tidak ramai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesukaan si Mawar makan nasi tiap makan siang ini bikin saya bertanya-tanya. Memang kenapa sih harus banget makan nasi. Waktu saya tanya begitu, dia jawab kalau seharian itu dia harus makan nasi dan waktu yang paling enak buat makan nasi itu ya siang hari. Lama saya pikir, dan akhirnya saya mendapatkan teori bahwa paham nasisme itu benar-benar ada!
Paham nasisme apaan tuh? Apakah bersaudara dengan narsisme? Atau cuman plesetan dari narsisme?
Jadi kawan-kawan sekalian, paham nasisme adalah paham di mana penganutnya memiliki keinginan atau merasa wajib untuk makan nasi setiap hari. Kalian mungkin akan menganggap paham nasisme ini aneh. Tapi jangan salah, paham nasisme adalah salah satu paham terkuat di Indonesia!
Sejak kecil kalian pasti pernah dengar istilah “Belum makan namanya kalau enggak makan nasi.” Betul kawan-kawan, kalau dalam sehari kita enggak makan nasi sering meerasa aneh atau bahkan lapar terus.
Nasi jadi makanan wajib minimal sekali sehari. Hal tersebut juga menjangkiti banyak teman saya di Fikom. Sebut saja Tias, Indah, Joko, dan Dodi. Mereka enggak bisa kenyang kalau dalam hari itu belum makan nasi. Bahkan Indah harus makan nasi tiga kali sehari, kebiasaan dari kecil katanya. Pun saat saya mengunjungi kantin di sekitaran Jatinangor, tempat makan yang ada nasinya akan lebih ramai dibandingkan kedai bakso atau apa pun yang enggak menyediakan nasi.
Padahal usut punya usut, nasi itu ternyata penyebab diabetes juga. Dr. Kartono Muhammad mengatakan, nasi putih merupakan makanan yang memberi sumbangan paling besar dibanding jenis makanan lain untuk penyakit diabetes atau biasa dikenal kencing manis. (lihat
https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/14/10/22/ndufin-nasi-putih-penyebab-terbesar-penyakit-diabetes).
Nasi putih memang punya kandungan glukosa yang cukup tinggi.
Selain itu, konsumsi nasi berlebih oleh masyarakat Indonesia juga membuat Indonesia sulit untuk menjadi eksportir beras terbesar di dunia. Menurut mantan Walikota Depok, Jawa Barat Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Isma'il, M.Sc, sekitar 78% masyarakat Indonesia tergantung pada padi. Padahal Indonesia adalah salah satu negara dengan hasil panen padi terbanyak di dunia. (lihat
https://health.liputan6.com/read/521271/orang-indonesia-terlalu-berlebihan-kalau-makan-nasi).
Bahkan data dari Badan Pusat Stastistik (BPS) pada 2015 menyatakan, konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 114 kg/kapita/tahun atau sekitar 312 gram/kapita/hari.
"Bayangkan, kalau orang Indonesia konsumsi hanya 70 kg per kapita per tahunnya, Indonesia akan langsung secara spontan menjadi eksportir terbesar di dunia
dengan suplai antara 15 sampai 18 juta ton tiap tahunnya. Dengan begitu, maka Indonesia dapat membantu 900 juta orang di dunia yang kelaparan," ujar Mahmudi.
Padahal sumber karbohidrat selain nasi masih banyak yang jauh lebih sehat dan murah. Misalnya jagung, singkong, dan umbi-umbian. Bahkan sumber-sumber karbohidrat tersebut jauh lebih dulu dikonsumsi oleh nenek moyang kita, bukan nasi.
Misalnya singkong, yang merupakan sumber kabohidrat kompleks dengan nilai GI rendah yaitu di bawah 55. Untuk 100 gram singkong terkandung kalori 121 kkal, air 62.5 gram, Fosfor 40 gram, Karbohidrat 34 gram, Kalsium 33 miligram, Vitamin C 30 miligram, Protein 1.2 gram, Besi 0.7 miligram, Lemak 0.3 gram lemak dan Vitamin B1 0.01 miligram (lihat:
https://www.kompasiana.com/miramarsellia/kenapa-harus-makan-nasi_54f33cc67455139e2b6c6d2b).
Apalagi jumlah kebutuhan karbohidrat dalam tubuh tidak harus disuplai oleh nasi. Mengganti sumber karbohidrat bukan berarti mengurangi asupan karbohidrat. Jumlah kebutuhan karbohidrat bagi tubuh adalah sekitar 50 hingga 60 persen dari total kebutuhan tubuh per harinya. (lihat: https://health.kompas.com/read/2015/05/05/071800323/Kita.Tidak.Harus.Makan.Nasi.Tiga.Kali.Sehari).
Jadi sebenarnya dengan mencukup kebutuhan itu saja, sudah cukup tanpa harus mengonsumsi nasi. Kalau menurut saya sih, dorongan untuk harus makan nasi setiap hari cuma dorongan psikologis saja.
Kalau belum makan nasi belum kenyang yang sudah ditanamkan orangtua dari zaman dahulu kala. Buktinya orang timur sana makanan pokoknya adalah sagu dan singkong, tapi enggak pernah bermasalah. Jadi, sebenarnya menurut saya paham nasisme itu enggak perlu kita pertahankan. Selain bikin kita tambah sehat dengan mengonsumsi sumber karbohidrat lain yang kaya serat, kita juga bisa bantu Indonesia untuk jadi eksportir beras terbesar di dunia.