Selfie dan Kecerdasan Bermedia Sosial

CNN Indonesia
Kamis, 16 Mar 2017 12:45 WIB
Selfie menjadi keliru ketika hobi ini merusak tatanan tempat, keindahan sebuah hunian, atau situs-situs pending dan bersejarah lainnya.
Ilustrasi (Foto: Adhi Wicaksono/CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Media sosial menjadi pasar yang memamerkan apapun. Keajaiban, kemustahilan, hiburan, pornografi, konten sara, pendidikan, perundungan (bullying). Apapun ada di sini. Sebab itu, masyarakat digital harus benar-benar cerdas memilah informasi yang didapatnya dari media sosial. Jangan sampai telepon pintar anda yang justru mengatur anda menjadi tidak pintar, bahkan cenderung mangut saja di hadapan pasar media sosial yang tak berbatas ini.

Aktif bermedia sosial membuat pribadi memiliki tempatnya sendiri. Entah untuk hiburan, ajang pencarian teman, pamer kekayaan, prestise, atau hanya ikut trend semata. Media sosial bahkan lebih menarik dari kehidupan nyata yang penuh intrik. Jurang antara kehidupan nyata dan maya ini sangat tipis. Seolah kedua dunia ini saling membutuhkan satu sama lainnya. Media sosial jadi ajang “kampanye diri” yang paling murah dan berpengaruh.

Apa yang paling pasti dan paling banyak ditemukan dalam media sosial? Pengguna aktif Facebook, Instagram, Path, dan jejaring lainnya pasti paham akan pertanyaan ini. ya..swafoto (selfie) yang kerap memenuhi beranda dalam jumlah yang cukup mengagetkan. Entah apa yang berkembang, gaya selfie ini tetap hanya itu-itu saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, mengapa harus memajang dua, tiga, bahkan hingga 8 foto dengan gaya yang nyaris serupa? Perihal swafoto (selfie) ini ada yang lebih penting. Ini serius.

Selfie yang dilakukan remaja, anak baru gede, atau bahkan orang tua yang baru merasakan indahnya masa remaja akan mendatangi tempat-tempat kekinian untuk mendapat selfie terbaik lalu dipamerkan dalam media sosialnya. Tidak ada yang salah. Namun, menjadi keliru ketika hobi selfie ini merusak tatanan tempat, keindahan sebuah hunian, atau situs-situs pending dan bersejarah lainnya. Jika kita berbicara di Indonesia, akibat ulah selfie ini terlampau banyak.

Di Bali, meski tak jadi isu nasional, perusakan habitat tanaman, keindahan sebuah tempat karena selfie maut ini telah banyak terjadi. Salah satunya yang masih segar dalam ingatan yaitu perkebunan milik petani desa Temukus Rendang Karangasem yang dirusak para pencari tempat kekinian ini.

Petani di sekitaran mengeluhkan bahwa padang bunga kasna nan cantik yang sengaja ditanam untuk keperluan yadnya ini menjadi tak begitu menawan setelah pasukan remaja baru gede melakukan swafoto tepat di tengah-tengah perkebunan. Dengan harga cuma-cuma, tak membuat para pencari swafoto ini memiliki kesadaran lebih, tentang arti menjaga keindahan sebuah tempat.

Taman bunga kasna ini bukan liar lalu bisa membelah diri dan membentuk keindahannya sendiri bersama koloninya. Ada seseorang yang merawat dan mencipta keindahan-keindahannya bisa dirasakan hingga saat ini. Tempat ini sontak menjadi terkenal karena dipajang secara berlebihan di media sosial. Lantas, petaninya hanya terdiam melihat kaki-kaki liar ini masuk tanpa permisi dan menyentuh bunga-bunga kasna yang tidak pernah protes.

Selfie dan kecerdasan bersosial media benar-benar harus diperhitungkan. Mumpung masih ada waktu, jangan lantas selfie ini juga kebablasan juga dilakukan saat hari raya Nyepi.

Tahun-tahun caka sebelumnya menjadi bukti bahwa kesadaran umat Hindu di Bali terhadap makna Nyepi masih hanya sebuah kebanggaan. Terlalu bangga membuat seseorang lupa untuk menghargai setiap proses nyepi itu sendiri.

Catur Brata Penyepian, salah satunya melarang umatnya untuk keluar rumah, keluar pekarangan, bahkan berkeliaran di sudut-sudut gang. Namun, larangan ini gagal dipenuhi. Masih ada yang bangga selfie di tengah kesepian saat hari Nyepi, lalu mengunggahnya di media sosial. Jika di antara kita sendiri masih melakukan ini, mengapa lantas menjadi seseorang yang “sumbu pendek” atau begitu emosial ketika melihat umat lain melakukan hal yang sama, bahkan berjualan dan bersepeda ria saat hari yang benar-benar suci seperti nyepi, ini?

Sekitar 30 pemuka agama dari berbagai agama yakni Hindu, Islam, Kristen, Buddha menggelar meeting koordinasi lintas lembaga keagamaan di Kantor Wilayah Agama Provinsi Bali yang menghasilkan kesepakatan, salah satunya larangan melakukan swafoto (selfie).

Semestinya larangan ini tidak pernah ada dan tidak menjadi perbincangan serius. Nyepi bukan soal siapa yang paling beragama, melainkan soal siapa yang paling paham segala hakikatnya. Jangan sampai ada kasus penodaan atas nyepi, penodaan atas agama, kembali memenuhi kerja Pak Polisi. Apalagi jika sang tersangka memegang KTP Bali, bernama marga Ketut, Nyoman, Made, dan di kolom agama bertuliskan “Hindu”. Malu.

28 Maret 2017 tinggal menghitung hari. Orang tua juga harus ikut ambil bagian dalam mencegah anak-anak yang penuh rasa ingin tahu ini untuk melakukan hal-hal yang bisa menodai adat, budaya, juga tradisi yang kita junjung tinggi ini. Mereka akan paham arti sakral, jika orang tua memberikan pemahaman yang baik tentang arti nyepi. Selamat Hari Nyepi, semoga perjalanan hidup semakin menuntun orang-orang ke arah yang lebih baik, menjadi Bali yang dipahami dan Bali yang memahami.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER