Jakarta, CNN Indonesia -- Suasana di dalam Bale Pabukon, Jatinangor, Sumedang, sepi siang itu. Terlihat hanya ada dua orang peserta dan beberapa panitia acara yang sedang duduk-duduk bersama salah satu pembicara yang bernama Hasbi Ilman, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB). Padahal, jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga belas lewat dua puluh menit yang berarti sepuluh menit lagi seharusnya forum diskusi
dJatingobrol dimulai.
Tak selang beberapa lama, seorang pria berambut gondrong dikuncir dan seorang perempuan berambut sebahu memasuki gedung Bale Pabukon. Kedua orang tersebut masuk dengan menggendong tas ransel, kemudian menaruhnya di atas kursi peserta. Si pria lalu menghampiri beberapa panitia untuk bersalaman. Rupanya pria tersebut merupakan Adi Marsiela, mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diundang untuk menjadi pembicara dalam forum diskusi
dJatingobrol. Forum diskusi
dJatingobrol yang digelar oleh Lembaga Penerbitan dan Pers Mahasiswa
dJatinangor Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) pada pekan lalu itu mengangkat tema “Eksistensi pers mahasiswa di era verifikasi media”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surya Hanifa, selaku Ketua Pelaksana acara ini menjelaskan bahwa latar belakang diadakannya forum diskusi
dJatingobrol adalah karena adanya kebijakan yang dikeluarkan Dewan Pers yang dinamakan verifikasi media. Salah satu tujuan dari verifikasi media sendiri adalah untuk menangkal dan meminimalisasi penyebaran berita bohong dan berita negatif di Indonesia.
“Masalahnya, kebanyakan media-media yang diverifikasi ini merupakan media arus utama bermodal besar dan memiliki lingkup pemberitaan nasional, tidak ada media regional maupun lokal. Apakah lantas Dewan Pers malah melanggengkan konglomerasi media yang ada saat ini dan menyisihkan media-media baru berkembang?” ujar mahasiswi yang akarab dipanggil Nifa itu.
Ia juga menambahkan bahwa verifikasi media akhirnya menjadi hal yang ditakutkan oleh pers mahasiswa (persma) karena jika dibandingkan dengan media arus utama, posisi tawar pers mahasiswa tentu jauh lebih rendah.
Pada pukul 13.50 WIB, setelah sekitar dua puluhan peserta memenuhi bangku yang disediakan, akhirnya acara pun dimulai. Ahmad Zuhhad, selaku moderator membuka acara dengan memberi sambutan, kemudian memanggil kedua pembicara ke atas panggung. Sebelumnya ia juga meminta maaf karena pembicara ketiga, M. Zein Al Faqih, ahli hukum media berhalangan hadir.
Adi Marsiela terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk berbicara. Moderator membuka sesi pertama diskusi dengan melontarkan pertanyaan soal bagaimana tanggapannya mengenai adanya kebijakan verifikasi media dan kaitannya dengan persma.
“AJI sangat mendukung,” tegas Adi di hadapan peserta forum, seraya membelakangi layar presentasinya. Ia memaparkan bahwa dengan adanya verifikasi media, masyarakat bisa terhindar dari adanya berita abal-abal dan informasi-informasi tidak jelas lainnya yang biasanya didapat dari media sosial.
Meski menyatakan dukungan, ia tidak memungkiri bahwa hal itu banyak dipertanyakan. Salah satu pertanyannya adalah bagaimana apabila ada narasumber yang menolak untuk memberikan informasi kepada wartawan yang bekerja di media yang tidak terverifikasi.
“Kalau begitu, kita kembali ke Pasal 28 UUD 1945. Seharusnya pemberian informasi tidak dibeda-bedakan, mau lu S1, S2, S3, atau masih SD, SMP, SMA, kalau meminta informasi ya harus diberikan, terutama oleh mereka yang terikat undang-undang keterbukaan informasi seperti badan publik,” jelasnya.
Berbeda 180 derajat dengan sikap yang dinyatakan Adi, Hasbi, Sekjen FKPMB yang juga merupakan pegiat persma Suara Mahasiswa Universitas Islam Bandung justru menyatakan penolakan terhadap verifikasi media.
“Setelah saya ngobrol dengan beberapa perwakilan persma yang ada di Bandung, kebanyakan dari mereka menentang hal itu. Alasannya, lebih ke pengaruhnya sih. Andai kata mereka melakukan peliputan, mereka memiliki ketakutan sendiri (penolakan dsb). Permasalahannya ya di situ, posisi tawar dari persma sendiri,” tuturnya.
Ia kemudian membuka situs persma.org di layar presentasi yang ada di depan. Di situ ia menunjukkan hasil penilitian Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia mengenai kasus-kasus kekerasan dan pembungkaman terhadap 108 pers mahasiswa yang ada di Indonesia periode 2013-2016.
Dalam penelitian tersebut, terdapat 88 pers mahasiswa yang mengalami tindak kekerasan. Dari 88 kasus kekerasan yang diterima oleh pers mahasiswa itu, ada 9 jenis bentuk kekerasan. Di antara 9 jenis kasus tersebut adalah fitnah, intimidasi, kriminalisasi, pelecehan, pembatalan izin, pembekuan, pembredelan, pembubaran acara dan perusakan karya.
“Nah, yang kami takutkan adalah dengan adanya verifikasi media, angka ini akan meningkat di tahun 2017-2020,” ujarnya khawatir.
Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta forum melontarkan pertanyaan. Ia mengkhawatirkan dengan adanya verifikasi media justru akan memberi keuntungan bagi media yang memiliki modal besar. Selain itu, ia menanyakan apakah semua media yang terverifikasi kemudian bisa dijamin berita yang ditayangkan sepenuhnya memuat fakta.
“Kalo itu saya ngga bisa ngejamin,” jawab Adi singkat.
Persma sebagai Media Alternatif Dalam materi presentasinya, Adi Marsiela membahas soal keberadaan persma dari dulu hingga sekarang. Eksistensi persma pada saat ini menurutnya memiliki perbedaan dengan persma di zaman Orde Baru.
“Kalo sekarang kita bisa bikin berita yang menentang kebijakan pemerintah, dulu jaman Orde Baru, media massa yang masih mau berjalan harus menuruti keinginan pemerintah, bahkan Departemen Penerangan menempatkan orang-orangnya di bagian redaksi, ” ungkapnya.
Dikarenakan adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah itu, kemudian persma hadir sebagai media alternatif. “Persma sebagai media alternatif saat itu memuat informasi-informasi yang tidak dimuat media arus utama,” ujar pria berambut gondrong itu.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, menurut Adi, keberadaan media alternatif seperti persma tetap penting demi informasi yang menyeluruh dan beragam. Meski tidak terverifikasi, persma tetap memiliki daya tariknya sendiri dengan menampilkan konten yang berbeda dari media arus utama.
“Ya, daripada teman-teman baca LINE Today, mending bacalah persma, dukunglah persma,” pesannya, mengakhiri presentasinya.