Jakarta, CNN Indonesia --
Smart city atau kota pintar adalah konsep yang sedang naik daun di mana-mana. Dari sisi terminologinya, kota pintar adalah visi pengembangan kota yang mengintegrasikan teknologi informasi serta
Internet of things.
Internet of things adalah konsep yang secara sederhana bicara mengenai konektivitas semua perangkat yang bisa terhubung ke Internet.
Nah, biasanya konsep
smart city dipakai untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik. Dengan teknologi terjadi interaksi antara pemerintah dan komunitas dan infrastruktur kota, memonitor kejadian di kota, bagaimana kota berevolusi, dan bagaimana melahirkan kualitas hidup yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jadi menggunakan teknologi dan data untuk meningkatkan taraf hidup warganya. Lebih nyaman, lebih banyak layanan, dan warga saling terhubung satu sama lain,” kata Hau Koh Foo, Direktur Institute of Innovation & Enterpreneurship Singapore Management University, kepada CNN Student, baru-baru ini.
Setidaknya ada tiga generasi
smart city. Begitulah kata Hau Koh Foo, mengutip dokumenter yang dibikin Jason Pomeroy, sosok yang populer dengan serial televisi City Time Traveller dan City Redesign di Singapura.
Generasi pertama yang bersifat
top down. Pemerintah yang mulai. “Singapura adalah generasi pertama karena pemerintah yang membangunnya dalam 6 tahun terakhir, pemerintah merencanakan, membangun infrastruktur, dan kemudian rakyat ikut,” kata Foo.
Sedangkan generasi kedua bersifat
bottom up. Yaitu rakyat yang berinisiatif terlebih dahulu bergerak. Membangunnya secara organik. “Bandung contohnya. Jadi Bandung sebetulnya lebih maju dari Singapura,” kata Foo. “Generasi ketiga adalah
top down dan
bottom up.”
Smart city pun termasuk bisnis yang berpeluang besar lho. Soalnya
demand atau permintaan terhadap teknologi kota pintar itu masih tinggi. Kalau dihitung-hitung, market untuk
smart city secara global, kata Foo, mencapai US$3 triliun.
Di Asia Tenggara, sistem ini sedang bertumbuh dengan permintaan tinggi. Sebab hampir semua aspek sudah digitalisasi. Dari layanan kesehatan, transportasi umum, layanan perkotaan, pemesanan restoran, sampai pendidikan.
“Kami melihat peluang besar di negara lain di Asia Tenggara, contohnya Indonesia. Dengan 250 juta penduduk, ini potensi yang besar,” tutur Foo.
Boleh saja Foo memuji Bandung lebih canggih ketimbang Singapura dalam urusan
smart city, tapi bagaimana sih penerapan
smart city di Indonesia dewasa ini?
Sebetulnya masih terbilang lambat. IDC pernah memprediksi tahun 2016 akan menjadi geliat
smart city di Indonesia. Tapi baru pada Mei lalu pemerintah menginisiasi gerakan 100
smart city di Indonesia, dengan awalan 25 kota/kabupaten pilihan.
Diawali dengan
assessment terhadap 65 perwakilan daerah di Kementerian Komunikasi dan Informasi pada 2-3 Mei lalu. Diharapkan pada 2019 nanti, sudah ada 100 pemerintah daerah yang mengimplementasikan
smart city.