Bandung, CNN Indonesia -- Tahun 2017, Pemerintah Kota Bandung berhasil mengeluarkan Perwal nomor 315 tentang kawasan tanpa rokok. Perwal ini ada sebagai tindakan pencegahan meningkatnya jumlah perokok anak di Kota Bandung khususnya. Tercatat sekitar 27% anak usia 10 sampai 14 tahun di Bandung adalah perokok.
Informasi ini dilansir dari sebuah media arus utama di Indonesia. Meningkatnya angka perokok anak ditakutkan dapat mengancam bonus demografi yang dimiliki Indonesia 2045 mendatang.
Sikap tegas pemerintah ini tentunya tidak dapat berjalan begitu saja tanpa adanya kesinambungan dengan berbagai pihak, terutama lingkungan terdekat dengan anak-anak. Maka dari itu pemerintah Kota Bandung juga mengadakan satgas anti rokok yang sudah mulai tersebar di beberapa sekolah menengah atas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dr. Ipah Saripah, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, satgas anti rokok adalah cara efektif untuk meminimalisir angka perokok anak. Hal ini disebabkan, satgas anti rokok yang merupakan teman seumuran dengan anak-anak perokok akan lebih leluasa dalam mengingatkan. Anak-anak yang merokok pun lambat laun akan memahami bahaya rokok dan sadar.
Berbeda jika diingatkan oleh guru, berhentinya untuk merokok karena takut, akhirnya malah sembunyi-sembunyi.
Menurut Dr. Ipah Saripah atau yang akrab disapa bunda Ipah, faktor anak merokok ada dua, dari internal dan eksternal. Sisi internal atau dalam diri sendiri ada pada rasa ingin tahu dan rasa ingin mencoba. Secara psikologis, remaja akan mengalami krisis psikologis, dimana mereka butuh mencari jati dirinya, dan rokok dapat menunjukkan identitas maupun jati dirinya. Sedang faktor eksternal datang dari iklim keluarga dan lingkungan.
Peran paling besar untuk mengatasi peningkatan jumlah perokok anak yang signifikan berasal dari keluarga. Keluarga adalah lingkungan terdekat dari anak. “Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan mematahkan pandangan positif terhadap rokok. Saat seorang anak sudah berpikir bahwa rokok itu positif, maka ia akan berani mencoba. Tahap selanjutnya adalah sang anak mulai merasa nyaman, hingga ketagihan,” ujar Dr. Ipah. Ketika anak sudah sampai pada titik kecanduan atau ketagihan, ini akan lebih sulit untuk diberhentikan.
Langkah lain untuk mengurangi angka perokok anak dapat dilakukan dengan tiga hal, yang dirangkum oleh Dr. Ipah dengan singkatan TKP. T adalah akronim dari kata Teladan. Anak adalah peniru yang baik, apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan dapat ditiru dan menjadi kebiasaannya. Begitu pula dengan merokok, saat keteladanan, contoh yang ia lihat adalah orangtua yang merokok, maka jangan heran jika sang anak ikut merokok.
Selanjutnya adalah K, K adalah akronim dari Komunikasi. Komunikasi adalah hal penting untuk mengatasi, mencegah atau memberhentikan seseorang dari candu rokok. Komunikasi untuk menjelaskan apa buruknya rokok dan sebagainya, tapi jangan melarang secara langsung. Saat seorang anak dilarang terang-terangan, dia akan mencari apa hal lain yang diperbolehkan. Komunikasi berguna untuk memberikan kesadaran atas apa yang harusnya anak dan remaja lakukan.
Terakhir adalah P, akronim dari kata Pengawasan. Jika sudah diberikan keteladanan, dan dijelaskan dengan komunikasi yang baik, maka selanjutnya harus dilakukan pengawasan. Seseorang baik anak, remaja maupun dewasa yang sudah berhenti merokok memiliki potensi untuk merokok kembali, sehingga patut diadakannya pengawasan agar cara-cara sebelumnya efektif.
Dalam buku Tarbiyah dikatakan, orang tua terutama ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sehingga pendidikan penting dan utama datang dari orang tua. Guru dan sekolah hanya menjadi pembimbing dalam akademik dan lingkungan sosial. Nilai dan norma pertama didapatkan anak-anak dari keluarga dan lingkaran terdekatnya.
Akan tetapi, kesinambungan peran juga bukan hanya dari lingkungan anak-anak terdekat, tapi dari berbagai pihak. Orangtua, keluarga, sekolah dan lingkungan. Ada satu aspek yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat saat ini, yaitu media.
Media adalah teman keseharian masyarakat, termasuk anak-anak. Meskipun saat ini media tidak secara eksplisit mempromosikan rokok, tetapi media tetap masif menyiarkan iklan rokok. Iklan rokok yang implisit membuat anak-anak semakin penasaran. Visualisasi yang baik juga membuat anak memiliki pandangan positif terhadap rokok.
Dr. Ipah mengatakan, survei di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung dan Tangerang Selatan, terbukti bahwa iklan rokok berhasil menggagalkan upaya orangtua mencegah anaknya merokok.
Namun bukan berarti upaya pencegahan rokok berhenti sampai di situ. Masih banyak upaya yang dapat dilakukan dan dimaksimalkan, salah satunya TKP tersebut. Ada beberapa komunitas anti rokok juga yang terus menggalakkan sosialisasi anti rokok. Menurut Dr. Ipah, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan membuat anak-anak menyibukkan diri dan asyik engan kegiatan yang lebih bermanfaat, hingga mereka tidak lagi memikirkan rokok.