Bandung, CNN Indonesia -- Siapa yang tak kenal kujang? Benda logam yang kerap digunakan dalam logo-logo lembaga di Jawa Barat ini sudah terkenal di sepenjuru Indonesia. Pada logo-logo itu, kujang digambarkan seperti celurit, tetapi dengan ujung bilah mengarah ke atas. Orang pun kerap menyebut kujang sebagai senjata tradisional Jawa Barat. Namun, benarkah anggapan terakhir itu?
Tertarik dengan hal itu, kami pun menemui seorang peneliti kujang. Namanya adalah Aris Kurniawan. Dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung ini meneliti kujang selama bertahun-tahun.
Selama penelitian itu, Aris melalang-buana ke berbagai daerah, ke berbagai daerah, mencari langsung jejak kujang yang disebutnya “artefak”. Ia mendatangi berbagai daerah di Bandung dan sekitarnya, Sumedang, Garut, Ciamis, Kanekes, Banten, dan Cirebon. Demi penelitian itu, ia pun mengoleksi kujang. Ia rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli kujang karena tidak sembarang orang mau meminjamkan kujang begitu saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian itu membuatnya menyadari bahwa kujang memiliki banyak arti. Orang sering salah mengira kujang sebagai senjata, tetapi ternyata anggapan itu salah. Justru kujang merupakan perkakas untuk bertani atau berkebun.
Kujang memang disebut sebagai senjata petani pada naskah Siksa Kanda Ng Karesian. Namun pada naskah yang ditulis pada abad 15-16 M, senjata yang dimaksud adalah peralatan untuk bertani atau berladang.
“Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum.” Begitu terjemahan kutipan mengenai kujang pada naskah itu.
Kujang perkakas ini sendiri sampai kini masih ada dan digunakan oleh masyarakat Baduy di Kanekes, Banten.
“Saya ke Kanekes, Baduy dan kujang (perkakas) yang katanya multifungsi itu seperti ini,” kata Aris sambil menunjukkan sebuah perkakas. Perkakas itu sekilas memiliki kesamaan dengan arit. Walau begitu lengkungannya tidak membentuk sudut tajam layaknya arit.
Selain sebagai perkakas, kujang ada pula yang merupakan simbol budaya. Aris menyebutnya tosan aji atau wesi aji. Kujang jenis inilah yang paling sering kita lihat rupanya pada berbagai logo lembaga-lembaga di Jawa Barat. Kujang tosan aji merupakan hasil karya budaya Sunda yang bersifat simbolik dan sakral. Bahasa simbol yang ditampilkan pada sebilah kujang biasanya terinspirasi oleh alam sekitar.
Kujang tosan aji merupakan pusaka yang berakar kuat dalam budaya Sunda. Menurut penelitian Aris, diestimasikan kujang sudah dibuat pada masa Sunda kuno (rentang waktu 125 M-1125 M).
Kujang yang termasuk tosan aji memiliki kekhasan. Kujang itu tidak memiliki desain layaknya senjata atau perkakas, yaitu ergonomis, efektif, dan efisien untuk digunakan sesuai peruntukannya. Dalam dunia desain, sebuah benda seharusnya dibuat berdasarkan konsep form follow function (bentuk mengikuti fungsi)
“Masa ini digunakan untuk menusuk orang,” ujarnya berkelakar.
Kujang “tosan aji” tidak dapat digunakan untuk menusuk karena lebih mengedepankan nilai estetika. Itu terlihat pada bentuk struktur bilah yang kompleks dan keberadaan pola pamor (berkas atau guratan terang yang terbentuk karena percampuran dua atau lebih material logam) yang unik pada bilahnya.
Mengenai pembuatannya, kujang dibuat khusus oleh guru teupa, setingkat dengan mpu pembuat keris, yang ahli dalam bidang etika dan estetika. Namun, guru teupa itu tidak sendiri menempa kujang. Ia dibantu pula oleh asistennya. Berdasarkan keterangan Aris, pembuatan kujang membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Itu, menurutnya, adalah lama pengerjaan paling cepat. Ada kujang yang bahkan dibuat selama bertahun-tahun. Dan selama waktu pengerjaan itu, sang guru teupa harus terus dalam keadaan suci.
Kujang sendiri dibuat atas persetujuan dewan petinggi sebuah kerajaan Sunda dan dianugerahkan pada seseorang yang dianggap layak karena jasa, kepintaran, dan/atau kepribadiannya. Kujang sengaja dibuat mencerminkan watak, bentuk fisik, jabatan, pengalaman hidup dan berbagai ciri diri orang yang akan dibuatkan kujang. Karena itu, bahkan satu varian kujang yang sama memiliki perbedaan tampilan satu sama lainnya.
Mengenai varian kujang, berdasarkan penelitian Aris, ia telah menemukan sekitar lebih dari 25 varian bentuk kujang. Varian kujang itu, antara lain bernama kujang ciung, kujang wayang, kujang naga, kujang badak, dan kujang cangak. Varian kujang yang paling sering kita lihat bentuknya pada logo-logo lembaga adalah jenis kujang ciung.
Representasi Budaya Sunda Sebagai sebuah pusaka simbolik, kujang mengandung filosofi hidup bangsa Sunda juga merepresentasikan peradaban Sunda. Filosofi atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menjadi pendidikan budaya tersendiri bagi para pewaris kujang juga masyarakat pada umumnya. Ini terkait dengan fungsi kujang sebagai piandel atau penguatan karakter atau jati diri.
“Secara garis besar terkandung (nilai) etika dan estetika Sunda atau atikan dan anggitan Sunda. Etika dan estetika Sunda ini kemudian menjadi tradisi atau didikan,” jelas Aris. “Itu diwariskan secara turun-temurun. Berarti punya nilai urgensi yang amat sangat vital.”
Salah satu nilai yang terkandung dalam kujang adalah tentang filosofi kehidupan. Menurut Aris, kujang dapat dimaknai memiliki tiga struktur. Ketiganya memiliki makna tersendiri yang menyimbolkan kehidupan manusia. Struktur pertama, yaitu pangkal kujang melambangkan awal penciptaan manusia. Struktur kedua melambangkan kehidupan manusia. Sementara, struktur ketiga melambangkan ketiadaan yang menjadi akhir kehidupan manusia.
Aris menyebut, pemaknaan atas kujang itu baru sedikit menyentuh bahasa simbol yang terkandung dalam kujang.
“Banyak sekali hal-hal yang tidak saya ketahui (tentang kujang dan budaya Sunda). Memang perlu diteliti lebih dalam dan harus banyak peneliti-peneliti dari generasi ke generasi untuk mengkaji potensi (budaya) yang kita miliki,” katanya lagi.
Salah satu hal yang penting dilakukan agar seorang akademisi ingin meneliti kujang adalah memahami bahwa kujang bukan merupakan pusaka Jawa Barat.
“Bila kita ingin memahami lebih dalam mengenai kujang, kita lepaskan dulu (dari) wilayah yang namanya provinsi (Jawa Barat),” ujar Aris. Hal itu karena wilayah yang sekarang menjadi provinsi Jawa Barat itu baru terbentuk pada 1957 dan merupakan warisan masa kolonialisme. Padahal, sejarah kujang sendiri sudah dimulai pada masa kerajaan tradisional.
Aris mengatakan, memahami kujang harus menggunakan perspektif budaya karena kujang sendiri adalah karya budaya. Maka itu kujang baru bisa dipahami bila melihat latar tempatnya secara kebudayaan.
Pendapat Aris itu diperkuat oleh penemuan kujang di daerah lain di luar Jawa Barat. Selain penemuan kujang perkakas di Banten, ada pula penemuan kujang tosan aji di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Aris berasumsi, dari pengalamannya selama ini, pusat pembuatan kujang zaman dahulu bahkan berada di daerah yang sekarang masuk dalam provinsi Jawa Timur.
Akhirnya, sebagai sebuah pusaka dan benda yang memiliki nilai budaya tinggi, kujang harus dilestarikan. Namun, Aris menyebut, pelestarian kujang itu terhambat oleh ketiadaan sistem sosial dalam peradaban seperti zaman dahulu. Oleh sebab itu, membicarakan pelestarian kujang berarti membicarakan pula pelestarian budaya Sunda secara umum.