Malang, CNN Indonesia -- Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menciptakan istilah-istilah baru dalam masyarakat. Salah satunya yang akhir-akhir ini nyata menghantui masyarakat kita adalah mewabahnya hoax.
Hoax adalah berita, informasi atau kabar palsu atau bohong. Hal ini sangat berbahaya bagi kerukunan umat beragama dalam bingkai NKRI. Apabila informasi hoax ini dijadikan alat kepentingan politik praktis dan lebih parahnya membungkus informasi hoax dengan label agama dapat membuat orang marah dan dapat mengantarkan kepada konflik SARA.
Harmoni sosial masyarakat dan keragaman bangsa di negeri ini yang sudah tercipta sekian lamanya menjadi incaran atau mangsa kejam informasi hoax. Anehnya, hoax ini kadang diproduksi oleh orang-orang pintar yang punya gelar pendidikan tinggi, menteri hingga ustadz.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahasiswa yang dianggap insan yang sudah dewasa dan kritis terhadap lingkungan sosial tanpa ampun menjadi korbannya. Akhir-akhir ini, banyak kasus-kasus masyarakat atau individu yang termakan informasi-informasi hoax.
Tribunnews (25/7/17) memberitakan bahwa informasi palsu atau hoax beredar di kalangan terdidik mahasiswa di kampus-kampus Jakarta.
Lebih dari itu, survei dilakukan oleh mahasiswa kelas Etika dan Media Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie terhadap 300 mahasiswa/i di 30 kampus swasta dan negeri di Jakarta dan hasilnya sekitar 77 persen dari mahasiswa-mahasiswi yang ditemui menyadari menyebar hoax dapat dipidana, dan 68 persen menyadari kredibilitas sumber berita sangat penting namun hanya 54 persen di antara mereka yang kadang memverifikasi sumber berita yang diterima.
Hal semacam ini, bagi mahasiswa yang punya nalar sehat serta kepedulian akan realitas yang terjadi di masyarakat, tidak bisa membiarkannya begitu saja. Kemudian, sebagai mahasiswa, apa yang harus dilakukan?
Literasi media menjadi langkah awal dalam hal ini. Literasi media bisa dikatakan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar kita sebagai konsumen media menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi dan diakses.
Seandainya saat menerima informasi, kita terlebih dahulu melakukan analisa, mencari informasi yang sama di media lainnya, membandingkan dengan fakta yang terjadi di sekitar, tentu keresahan semacam ini tidak akan terjadi. Tidak berhenti di sini, kita juga ikut ambil bagian dalam menyebarkan informasi yang bukan hoax.
Dalam menyebarkan informasi, idealnya sebagai mahasiswa, kita harus memiliki skill apa yang dikatakan Jenkins dkk (2009) sebagai appropriation dalam teori literasi media baru, maksudnya ialah mampu menyadur informasi yang diterima di media baru secara legal dan etis.
Selain itu, menurut Pasal 4 UURI No.11 tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; Dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Berdasarkan undang-undang di atas, kita sebagai mahasiswa harus terlibat dalam menyebarkan informasi yang dapat membuka wawasan generasi harapan bangsa. Dalam kata lain, kelima tujuan mulia yang sudah dijelaskan hanya bisa dicapai jika kita melek terhadap informasi yang kita terima melalui tekonologi informasi dan komunikasi.
Selain memiliki latar belakang Ilmu Komunikasi, penulis juga seorang santri sejak kecil. Bagi penulis, rasanya kurang lengkap jika belum memberi pendapat menurut perspektif seorang santri. Dalam perspektif agama Islam, Allah berfirman dalam Surat al-Hujurat ayat 6:
يَـأيُّهَاالّذِيْن آمنـُوْا ِاٍنْ جـآءَكمْ فَاسقٌ بـِنَباٍ فتبيّنـُوْا أنْ تُصِبـوْا قوْمًـا بِجَهَالـةٍ فتُصْبِحُـوْا علَى مَا فعَلْتـُمْ نـاد ميـن
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Menurut Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, menjelaskan, asbabun nuzul ayat ini menurut laporan Ibn ‘Abbas, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’yth ketika menjadi utusan Rasul SAW. untuk memungut zakat dari Bani Musthaliq. Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka menyambutnya secara berdayun-dayun dengan suka cita. Mendengar hal itu, al-Walid menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliyah mereka saling bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walid kemudian kembali melapor kepada Nabi bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat malah akan menyerangnya. Nabi marah dan siap mengirim pasukan kepada Bani Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Lalu menurunkan surat al-Hujurat ayat 6 ini (juz XXVI, h. 123-124).
Allah SWT memerintahkan kita untuk memeriksa dengan teliti berita (dalam kitab tafsir jalalain khabar) dari orang fasik. Dalam konteks saat ini, kita bukan menuduh semua orang yang membawa kabar adalah fasik. Melainkan, hendaklah kita bersikap hati-hati dalam menerimanya dan jangan menerimanya begitu saja yang akibatnya akan membalikkan kenyataan dan dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Oleh karena itu, sebagai kaum terdidik, mahasiswa seharusnya mampu memahami, menganalisis, menilai, dan mengkritisi informasi yang diterima melalui tekonlogi informasi dan komunikasi. Selain itu, kita juga harus mempunyai kemampuan mempertimbangkan informasi yang harus dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan tujuan komunitas atau pribadi.
Bagaimana memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebaik mungkin dan meminimalisir dampak negatifnya. Salah satunya mengolah segala informasi yang muncul secara relevan dan cerdas demi mewujudkan cita-cita bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah arus globalisasi.
Darwis Hasib
Seorang santri dan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya