Krisis (dan Bulan) Berbahasa Indonesia

CNN Indonesia
Sabtu, 21 Okt 2017 08:30 WIB
Warga negara asing banyak mempelajari bahasa Indonesia sedang penutur asli justru menggunakan bahasa itu dengan serampangan.
Ilustrasi (Foto: CNN Indonesia/Anggit Gita Parikesit)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bahasa merupakan komponen yang vital dalam komunikasi, baik itu komunikasi non-verbal maupun verbal. Dalam komunikasi non-verbal, gerak-gerik anggota badan yang telah memiliki makna berdasarkan konsep dan kode tertentu dapat digunakan sebagai sarana berkomunikasi satu sama lain, seperti mengangguk, menggelengkan kepala, tersenyum, melotot, melambaikan tangan, dan menunjuk sesuatu.

Dalam komunikasi verbal, kumpulan lambang-lambang berupa huruf atau yang akrab disebut sebagai kata yang juga telah memiliki makna berdasarkan konsep dan kode digunakan dalam bertukar pesan satu sama lain. Konsep ini berbeda-beda di setiap negara, daerah, dan bahkan suku bangsa, namun dapat memiliki makna yang sama apabila konsep tersebut ternaungkan dalam kode yang sama.

Agar tidak membingungkan, berikut adalah satu contoh. Kendaraan bermotor roda empat memiliki penyebutan yang berbeda dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris disebut car, dalam bahasa Jerman adalah auto, Malaysia menyebutnya kereta, dan kita menyebutnya sebagai mobil. Keempat kata itu dikemas dalam konsep bahasa yang saling berbeda, namun memiliki makna yang sama yakni merujuk pada kendaraan bermotor roda empat, selama mereka ternaung dalam kode yang sama, yakni kendaraan pribadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bicara tentang bahasa verbal, Indonesia akhir-akhir ini bisa dikatakan sedang mengalami krisis berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagaimana tidak, sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari pemakaian bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam berbagai bentuk, seperti mencampuradukkan dua bahasa yang berbeda dengan maksud kejenakaan ataupun sekedar mengikuti tren, dan ada pula yang mempopulerkan dan menggunakan istilah tidak baku yang terbentuk dari kosakata bahasa Indonesia baku yang dimodifikasi.

Akhir-akhir ini kita seringkali mendengar dan menemukan kalimat berbunyi “kids jaman now” di berbagai tempat dan kesempatan, seperti di media sosial misalnya. Di dalam kiriman dan kolom komentar tertentu, kalimat tersebut kerap muncul baik sebagian maupun keseluruhannya. Dari manakah istilah ini berasal?

Jika kita telusuri, kita akan sampai pada sebuah akun Twitter yang memparodikan Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi. Akun Twitter palsu Kak Seto itu berisi cuitan yang mengomentari tingkah laku anak masa kini dengan gaya yang dari segi penyajiannya cukup jenaka dan mengundang tawa, namun dari segi bahasa sangat memprihatinkan karena penggunaan bahasa yang campur aduk dan vulgar, tidak sesuai dengan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Cuitan-cuitan pada akun palsu itu di antaranya: “Ada ada saja kids jaman now”, “Dididik very hard, tetep saja stupid”, dan beberapa cuitan lain yang bahasa dan kontennya agak vulgar dan tidak bisa dituliskan di sini.

Kalimat-kalimat dalam cuitan itu terdiri dari campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Memang terlihat lucu dan menarik, namun bayangkan saja jika kalimat tersebut dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris lalu dicampur dengan bahasa lainnya, misalnya bahasa Perancis, Spanyol, Korea atau Jepang. Kira-kira apakah kalimatnya enak diucapkan, nyambung, efektif dan sesuai dengan kaidah? Hampir bisa dipastikan tidak, bahkan susunan kalimat akan menjadi kacau tak karuan.

Lalu kita juga mengenal istilah-istilah tidak baku atau slang yang berakar dari kosakata Bahasa Indonesia yang dimodifikasi dengan berbagai cara seperti membalik susunan huruf dalam kata atau mengubah huruf yang digunakan tanpa mengubah pelafalannya (homofon). Istilah-istilah tidak baku itu di antaranya “tercyduk”, “terpelatuck”, “takis”, “unfaedah”, “kuy” dan sebagainya.

Mari kita bedah istilah-istilah tidak baku di atas satu per satu. “Tercyduk” merupakan homofon yang berakar dari kata “terciduk” yang artinya tertangkap basah atau terpergok. “Terpelatuck” adalah homofon dari “terpelatuk” yang merupakan adaptasi dari kata bahasa Inggris “triggered”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, kata “terpelatuk” tidak ada, yang ada hanyalah “berpelatuk” yang artinya “mempunyai bagian kulit seperti paruh (tentang kacang tanah)”, artinya kata ini murni istilah tidak baku.

“Takis” adalah pembalikan dari kata “sikat”, “unfaedah” merupakan kombinasi dari awalan dalam bahasa Inggris “un-“ yang berarti “tidak” dan kata bahasa Indonesia “faedah”, mirip dengan campuran dua bahasa yang dijelaskan di atas. Istilah ini berarti “tidak berguna”. Variasi dari istilah ini adalah “nirfaedah” yang lebih ke-Indonesia-an dibandingkan dengan “unfaedah”. Adapun “kuy” merupakan pembalikan dari kata ajakan “yuk”.

Sekarang lihatlah istilah tidak baku milik Amerika Serikat yang sama sekali tidak memodifikasi kata dan hanya mengubah maknanya, seperti chicken yang berarti “pengecut”, baby yang berarti “kekasih”, blue yang berarti “cabul”, dan sebagainya. Agaknya istilah tidak baku kita harus mencontoh negeri Paman Sam yang konservatif terhadap kosakata dalam menciptakan istilah tidak baku sehingga bisa digunakan secara luas oleh masyarakatnya.

Penggunaan bahasa “blasteran” dan istilah tidak baku di atas cukup mencederai dan merusak tatanan berbahasa. Sudah ada kaidah tentang bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dan kosakata tersebut sudah dibakukan. Pihak yang menciptakan istilah tersebut seharusnya membatasi penggunaannya karena istilah demikian hanya digunakan dalam kelompok sosial tertentu dalam berkomunikasi secara internal. Namun, istilah-istilah tersebut justru menyebar dan populer di masyarakat, terutama generasi milenial yang ingin selalu merasa kekinian.

Cobalah pikirkan. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa dari Sabang sampai Merauke, bahkan sempat diusulkan menjadi bahasa pengantar negara-negara ASEAN. Pengajaran bahasa Indonesia termasuk ke dalam kurikulum pendidikan di Australia. Jumlah penutur Bahasa Indonesia kini mencapai sekitar 300 juta lebih di dunia, jumlah yang bisa dibanggakan. Pelancong asing yang selalu mengunjungi negeri ini pun berusaha keras mempelajari bahasa Indonesia berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan demi kemudahan berkomunikasi dengan masyarakat, sedangkan kita semua sebagai penutur asli justru menggunakan Bahasa Indonesia dengan serampangan dan jauh dari kata baik dan benar. Apa kata dunia?

Kita harus mengingat perjuangan para pemuda masa pergerakan yang berusaha mati-matian mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia di tengah cengkeraman bangsa kolonial. Pada Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 27-28 Oktober 1928, mereka menyatakan berbahasa satu, Bahasa Indonesia dalam keputusan yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Dilatarbelakangi oleh peristiwa bersejarah itu, Oktober menjadi momentum yang tepat untuk menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah yang berlaku. Sebagai pemuda masa kini, marilah kita menghargai dan meneruskan perjuangan mereka dengan berbahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER