Jakarta, CNN Indonesia -- Kepunahan bahasa daerah telah menjadi sorotan sejak lama. Namun, isu itu kurang mengemuka sehingga tak banyak orang tahu, kekayaan Indonesia akan bahasa laun-laun mengalami krisis penutur. Bukan hanya karena bencana alam, perang, genosida, urbanisasi serta dominasi ekonomi, politik, dan budaya, melainkan orang-orang yang cenderung enggan untuk peduli.
Sejak 89 tahun silam, bulan Oktober ditetapkan menjadi Bulan Bahasa dan Sastra Nasional. Peringatan ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk semakin menyayangi bukan hanya bahasa nasional, tapi meliputi seluruh bahasa pada ragamnya budaya Indonesia.
Untuk diingat, tulisan ini tidak dibuat dengan tujuan menjatuhkan bahasa Indonesia. Bahasa yang terasa sakral setelah adanya pengukuhan sumpah pemuda tahun 1928 itu memang wajib lestari. Tidak hanya sebagai identitas bangsa, tetapi juga sebagai pengikat seluruh komponen di dalamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulisan ini hadir bukan untuk membentur-bentur bahasa, lalu membandingkan mana yang lebih penting bagi Indonesia. Karena pada dasarnya, semua bahasa patut lestari dan memiliki porsi masing-masing. Masalahnya, apakah kita sudah bisa menempatkannya secara adil?
Kebanyakan orang fokus terhadap pengaruh bahasa Inggris bagi bangsa. Banyak ulasan di luasnya jagat internet maupun tulisan cerdas para akademisi di wajah media massa, mengenai jahatnya bahasa Inggris.
Konon, bahasa internasional itu memasuki ranah bertutur generasi muda dan menjelmakan diksi Indonesia mereka tercemar juga terdengar sangat menggelikan. Padahal, yang demikian bukanlah sebuah ancaman.
Pasalnya, karya tulis ilmiah atau skripsi tak pernah gado-gado macam bahasa tutur. Bahkan, pada lingkup terkecil semisal tugas, siswa dan mahasiswa negara ini tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka tetap mengamalkan pakem bahasa Indonesia dengan ejaan yang telah disempurnakan.
Terlepas dari kesalahan-kesalahan penulisan atau nilai merah pada tes tulis bahasa Indonesia, bahasa nasional kita masih bersinar sama-sekali. Maka, biarlah pencampuran bahasa terjadi dalam pergaulan sehari-hari. Agar para pembaharu bangsa itu mampu mengembangkan keterampilan bahasa asingnya, sambil tetap menjaga kelestarian bahasa Indonesia.
Kini, yang perlu didiskusikan adalah nasib bahasa daerah yang kian hari kian miskin penutur. Dilansir dari Tirto.id, menurut data yang disajikan oleh Summer Linguistic, Indonesia memiliki kurang lebih 746 bahasa daerah. Namun sayangnya, kekayaan bahasa tersebut tidak dirawat sebagaimana mestinya, sehingga menyebabkan kurang lebih 25 bahasa di Indonesia berstatus hampir punah, sementara 13 bahasa daerah lainnya telah dinyatakan punah.
Prof. Dr. Multamia Lauder, seorang pakar linguistik dari Universitas Indonesia ikut membenarkan. Multamia mencatat saat ini kurang lebih 25 bahasa di Indonesia berstatus hampir punah. Bahasa yang hampir punah tersebut berasal dari Maluku dan Papua.
Bahasa yang berstatus hampir punah itu antara lain, Burumakok, Duriankere, Emplawas, Kaibobo, Kanum, Badi, Kayupulau, Kembra dan Kwerisa. Selain itu, bahasa Lengilu, Lolak, Melayu Bacan, Mandar, Massep, Mlap, Morori, Namla, Paulohi, Petjo, Ratahan, Salas, Taje, Tobati dan Woria.
Sedang 13 bahasa daerah yang telah punah antara lain, bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua, Ternateno dan Te'un. Mayoritas berasal dari Maluku dan Papua.
Multamia mengatakan, kepunahan terjadi akibat habisnya penutur ketigabelas bahasa di atas. Setelah mengetahui fakta ini, kalau bukan miris yang menyergap hati bangsa entah apalagi namanya.
Bahasa ibu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir, melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya.
Artinya, bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali diajarkan ibu di dalam rumah. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang digunakan ibu untuk memapah anaknya berbicara. Bahasa ibu itu bahasa daerah, bukan bahasa Indonesia seperti kebanyakan orang sangka. Kecuali seorang anak yang ibu bapaknya terlahir di Kota Jakarta, maka itu lain cerita.
Bahasa Indonesia pasti menjadi pilihan pertama bagi percakapan mereka. Sementara titel tepat untuk mendefinisikan bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Itu sudah paling benar.
Sekali lagi, tulisan ini tidak bertujuan untuk merusak citra bahasa Indonesia dalam persepsi masyarakat. Namun, kepunahan bahasa daerah perlu ditanggulangi detik ini juga.
Sebab, perlu diingat kembali, jauh sebelum bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai bahasa nasional, bahasa daerah sudah eksis dan lestari di nusantara. Apalagi mengingat fungsi bahasa daerah sebagai pelengkap bahasa nasional.
Lebih jelasnya, salah satu keputusan bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia.
Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan. (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono, 2000).
Maka, pemerintah tidak perlu melarang penggunaan bahasa daerah di sekolah-sekolah seperti wacana yang pernah dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) empat tahun silam, tepatnya pada pembuatan kurikulum 2013. Langkah itu amat gegabah apabila merujuk pada pemikiran jangka panjang. Mengapa institusi sekaliber itu luput mengamati kemungkinan punahnya bahasa daerah.
Sama halnya dengan kasus pencampuran bahasa Inggris, banyak orang juga nyinyir terhadap racikan daerah-nasional. Seperti penggunaan bahasa Sunda yang diaduk dengan bahasa Indonesia dalam bertutur, sering sekali memantik sarkasme warga lain.
Padahal, selama cara itu mampu melestarikan keduanya, kenapa tidak. Lagi pula, untuk surat menyurat resmi, hal-ihwal tulisan formal, bahasa Indonesia tidak akan pernah ternodai. Dalam kasus melamar kerja misalnya, meski bukan dari kalangan terdidik, pencari kerja akan meniru Google dalam membuat surat lamaran, yang kebanyakan diunggah orang-orang terdidik. Alhasil, contoh surat tidak akan melenceng dari kaidah bahasa yang telah disepakati.