Bulan Bahasa atau Bulan Upacara

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Selasa, 31 Okt 2017 16:00 WIB
Bulan Oktober biasanya diperingati sebagai Bulan Bahasa dan Sastra. Tapi mengapa rasanya kok lebih banyak upacara?
Upacara Sumpah Pemuda. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bulan Oktober bukanlah bulan yang biasa, setidaknya bagi bangsa kita. Pada bulan inilah kita memperingati Bulan Bahasa Indonesia dan belakangan juga ditambahkan dengan Bulan Sastra.

Tahun ini merupakan peringatan Sumpah Pemuda yang ke-89 sejak para pemuda telah mengikrarkan sumpahnya bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa bangsa Indonesia. Namun nyatanya masih banyak pemuda penerus bangsa ini yang tidak tahu bahwa bulan Oktober merupakan Bulan Bahasa, bahkan apa latar belakangnya, meski sejatinya mereka tahu Sumpah Pemuda.

Setidaknya itulah fakta yang penulis dapatkan di lapangan melalui tanya jawab singkat secara acak kepada siswa sekolah dasar hingga mahasiswa. Walaupun data ini tidak bisa dianggap sepenuhnya benar karena terkesan menggeneralisir namun setidaknya bisa memberikan gambaran. Dari dua puluh lima responden, hanya 9 responden saja yang tahu bahwa Oktober merupakan Bulan Bahasa. Hal yang mengejutkan adalah dari 8 responden mahasiswa, hanya 1 orang saja yang tahu. Padahal sebagai mahasiswa, mereka seharusnya lebih melek dan punya akses informasi yang lebih baik ketimbang anak sekolahan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasan mereka tidak mengetahui mengenai Bulan Bahasa karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang bulan ini. Hal ini memang ada benarnya, karena pemerintah seringkali hanya melakukan peringatan secara seremonial pada 28 oktober berupa upacara di lapangan. Upacara bukanlah metode yang tepat karena upacara hanyalah sekedar baris terjemur terik matahari dan tidak diminati para pesertanya. Padahal nilai dan esensi dari Sumpah Pemudalah yang harusnya diresapi dan dijadikan bahan sebagai refleksi.

Namun ketidaktahuan mereka juga didorong minat baca masyarakat Indonesia yang rendah. Pada bulan Oktober, Bulan Bahasa adalah salah satu isu yang akan selalu diberitakan oleh media massa. Tak jarang bahkan ada laporan secara mendalam mengenai Bulan Bahasa di salah satu media. Jadi pemerintah tak sepatutnya disalahkan sepenuhnya karena masyarakat sendiri acuh tak acuh dalam mencari tahu informasi terkait Bulan Bahasa.

Permasalahan utama dari ketidaktahuan masyarakat mengenai peringatan Bulan Bahasa adalah masih kurangnya acara edukatif maupun rekreatif tentang Bulan Bahasa. Acara seremonial seperti upacara tidaklah efektif, seharusnya pemerintah sadar dan segera bertindak mencari cara lain. Salah satu caranya adalah mengadakan lomba-lomba yang memeringati Bulan Bahasa dan Sastra, misalnya lomba puisi atau cerpen.

Dengan adanya lomba, esensi dari Bulan Bahasa akan jauh lebih efektif ketimbang upacara di lapangan. Karya sastra sendiri merupakan representasi dari bahasa Indonesia. Jadi tak hanya mengamalkan ikrar para pemuda, lomba seperti ini juga bisa menumbuhkan kecintaan bangsa ini kepada bahasa ibunya yaitu bahasa Indonesia. Lomba ini juga harus masuk pada agenda mengajar pelajaran bahasa Indonesia saat bulan Oktober. Jadi para siswa dari sekolah dasar hingga SMA dituntut kreativitasnya untuk menciptakan karya berbahasa Indonesia.

Hal inilah yang saat ini masih belum dilakukan pemerintah, para responden menyatakan bahwa di sekolah mereka tidak ada peringatan khusus selain upacara Sumpah Pemuda, seharusnya hal ini harus segera dilakukan pemerintah sebelum minat bangsa Indonesia terhadap bahasa dan sastranya sendiri semakin memudar. Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra sudah bukan saatnya hanya sekedar mengingat tetapi dijadikan momentum menyatukan bangsa ini dengan bahasa Indonesia. Mengingat arus budaya dari barat semakin lama sudah semakin menguat dan semakin menggempur budaya kita.

Lihat saja di jalanan dan di sekitar kita, nama-nama toko, nama-nama tempat makan, nama apartemen bahkan beberapa tempat wisata sekarang menggunakan bahasa asing. Padahal UU No 24 sudah menyebutkan perihal kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada beberapa nama usaha, jalan dan apartemen.

Namun nyatanya para pelaku usaha lebih memilih melanggar hukum demi tempatnya terpandang menjadi lebih keren di mata para konsumennya. Padahal nyatanya penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lebih unik dan lebih enak didengar karena bahasa sehari-hari kita. Seperti halnya penamaan Simpang Semanggi yang pada awalnya hendak diberi nama Semanggi Exchange. Lalu pemerintah tengah berusaha menjadikan Kalayang sebagai nama resmi Skytrain Bandara Soekarno-Hatta. Kedua nama tersebut terdengar lebih cocok ketimbang bahasa asing yang coba ditetapkan sebelumnya.

Bila para pelaku usaha tetap berupaya memberi nama usahanya dengan nama asing tentulah menjadi sebuah hal yang ironis. Mengingat terdapat sebuah wacana bahwa pemerintah tengah mengusulkan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional.

Apa yang dilakukan para pengusaha tentu terkesan tidak mendukung wacana yang dilakukan pemerintah. Bahkan tak hanya pelaku usaha, masyarakat saat ini lebih mengedepankan kemampuan berbahasa Inggris ketimbag bahasa Indonesia. Mereka berasumsi bahasa Indonesia tidaklah terlalu penting pada era globalisasi saat ini. Pandangan seperti ini memang tidak sepenuhnya salah, namun sebagai bangsa Indonesia tentu memahami bahasa Indonesia adalah hal yang penting.

Lihat saja Jepang, sebagai salah satu negara yang maju, mereka tetap menjunjung tinggi bahasa Jepang. Bahkan para pekerja asinglah yang diwajibkan mampu berbahasa Jepang. Hal yang terbalik justru terjadi di Indonesia, kita justru harus menyesuaikan diri dengan pekerja asing yang mencari uang di negeri kita sendiri.

Nah, para pemuda, sudah siap melangkah lebih jauh dari tidak peduli menjadi peduli? Atau dari sekadar berniat menelusuri sampai menggandrungi berbahasa yang baik dan menikmati sastra? Ingatlah, betapa susahnya para pemuda saat itu untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda yang selalu kita peringati tiap tahunnya. Jangan sampai kita sebagai bangsa penerusnya justru dengan mudahnya merusak kesucian dan perjuangan para pendahulu kita. Jangan sampai para pejuang tersebut menutup mukanya dengan rasa malu akibat perbuatan kita. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER