Resensi Buku: Nyanyian Sarbeni dan Pentingnya Nama Anak

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Kamis, 02 Nov 2017 14:06 WIB
Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan nama yang layak kepada anaknya. Tapi mengapa Sarbeni malah mendapat nama anak lelaki?
Ilustrasi (Foto: pixabay/ayank)
Bandung, CNN Indonesia -- Judul : Nyanyian Sarbeni
Penulis : Neni Nurachman
Penerbit : Peniti Media
Cetakan : Pertama, Agustus 2017
Tebal : 119 halaman
ISBN : 978-602- 6592-07-1

Anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan yang harus dijaga. Apapun jenis kelaminnya, orang tua harus mensyukuri apapun yang Tuhan berikan kepada kita. Nama merupakan identitas. Maka sebagai orang tua jangan asal dalam memberi nama untuk seorang anak.

Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan nama yang layak kepada anaknya, begitu pun seorang anak berhak mendapatkan nama yang baik dan indah. Agar kelak ketika anak sudah besar, mereka merasa bangga memiliki sebuah nama yang indah pemberian orang tua mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berbeda dengan Sarbeni yang merupakan tokoh anak perempuan, yang tomboi, berambut cepak seperti anak laki-laki, pandai memanjat pohon, dan juga pandai bersenandung. Lagu-lagu yang ia nyanyikan didapat dari teman-teman lelakinya yang sudah Sekolah Dasar.

Ia pun sering mengintip dari balik jendela Sekolah Dasar, karena ia berkeinginan untuk sekolah, padahal usianya empat setengah tahun. Sarbeni, akhirnya bisa mewujudkan keinginannya untuk sekolah bersama teman-temannya, meskipun ia dikategorikan anak bawang oleh gurunya.

Demi naik kelas, Sarbeni membuktikan bahwa dirinya mampu naik kelas dengan menjadi juara pertama di kelasnya. Sebelumnya, waktu Sarbeni bayi ia tinggal di kota bersama kedua orang tuanya, kemudian dititipkan kepada neneknya yaitu Mak Unah dan tinggal di desa, karena orang tuanya tidak mampu mengurus Sarbeni. Ibu Sarbeni memiliki dua anak laki-laki yang masih kecil, itulah alasan Sarbeni dititipkan.

Setelah naik ke kelas dua, Sarbeni pindah ke kota dijemput oleh ibunya. Ibunya menyarankan agar Mak Unah tidak perlu repot mengurus Sarbeni lagi. Mak Unah berurai air mata melepas kepergian Sarbeni. Namun, ketika tinggal di kota Sarbeni merasa asing, sehingga ketika pulang sekolah ia lupa jalan pulang.

Sarbeni menangis di teras masjid, meratapi dirinya yang tidak bisa pulang. Beruntung, Sarbeni bertemu dengan guru ngajinya saat di desa, ia memanggilnya Wa Haji. Sarbeni pun ingin pulang bersama Wa Haji ke desa, karena ia tidak tahu alamat orang tuanya.

Sarbeni menolak kembali ke kota, bersama ibu, bapak, dan adik-adiknya. Ia lebih nyaman tinggal bersama Mak Unah. Setelah kembali ke sekolah yang di desa, Sarbeni menjadi pribadi yang murung. Karena sering diejek oleh teman-temannya. Perihal nama dan kesukaannya. Sehingga nilai Sarbeni turun drastis di sekolah.

Sarbeni mengeluh kepada Mak Unah, kenapa namanya “Sarbeni”, nama itu adalah nama untuk anak laki-laki. Ia ingin mengganti nama tersebut.

Ternyata nama “Sarbeni” sengaja diberikan oleh bapaknya yang menginginkan anak sulung laki-laki, tapi yang lahir anak perempuan. Maka, dengan nama tersebut bapaknya membiasakan Sarbeni melakukan aktivitas laki-laki, seperti salat jumat, selalu memakai celana, bermain kelereng, memanjat pohon, dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, Sarbeni mengganti nama menjadi Nuraini. Kebahagiaan dirasakan oleh Sarbeni karena tidak ada lagi teman-teman yang akan mengejek namanya.

Buku Nyanyian Sarbeni, sederhana sekali, itulah kesan pertama saat membuka lembar pertama dari buku ini. Kekurangcermatan tampak pada isi buku, yaitu terdapat beberapa kesalahan penulisan kata. Awalnya biasa saja, namun lama kelamaan cukup mengganggu.

Terlepas dari itu semua, pembaca bisa mengabaikan kesalahan penulisan, karena dampak dari kesalahan penulisan kata tidak berakibat pada arti kata tersebut.

Penulis buku ini adalah Neni Nurachman, seorang guru dengan latar belakang keagamaan yang kuat. Buku ini tidak membosankan karena disertai ilustrasi di setiap bab, sehingga kita bisa membayangkan sosok Sarbeni.

Sebelumnya, penulis telah menulis novel traveling berjudul 21 Senja di Tanah Koala. Berbeda dengan tulisan sebelumnya, novel Nyanyian Sarbeni memiliki nilai moral yang dalam dibandingkan dengan novel 21 Senja di Tanah Koala.

Nilai moral yang disajikan penulis, yaitu sebagai orang tua tidak berhak memaksakan keinginan anak. Orang tua hanya berhak mendidik dan mengarahkan, anak juga membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri.

Sarbeni belajar dari ketidakpahaman orang tuanya dalam memberikan nama, sehingga membuat dirinya menjadi seperti anak laki-laki. Nama itu tidak asal, diperlukan pertimbangan sebelum nama disematkan kepada anak, agar kelak tidak dijadikan bahan ejekan teman-temannya.

Selain kisah yang menarik mengenai tokoh Sarbeni, penulis sebagai orang Sunda, berani memasukkan istilah-istilah dalam bahasa Sunda, seperti babancik, kolecer, beuleum, dan lain sebagainya. Tak perlu khawatir, penulis menyajikan glosarium dari istilah-istilah bahasa Sunda, agar pembaca paham. Buku ini mengajarkan kepada para orang tua tentang pentingnya pemberian sebuah nama yang tepat untuk anak.

Tira Santia
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER