Jayapura, CNN Indonesia -- Lembah Baliem terletak di pegunungan Papua pada ketinggian 1.650 meter di atas permukaan laut. Lembah ini membentang sepanjang kurang lebih 60 kilometer dan lebarnya 15 kilometer. Pegunungan hijau, terjal dengan jurang-jurang yang dalam dan sempit membentengi lembah ini. Cekungan lembah sungai yang cukup luas hanya terdapat di lembah bagian barat dan lembah bagian timur.
Sebelum tahun 1955, penduduk di Lembah Baliem hidup terisolasi, mereka hidup memelihara babi dan bercocok tanam ubi jalar menggunakan kapak batu. Kehidupan ini berubah ketika penerbangan perintis dengan pesawat kecil mulai beroperasi di wilayah ini.
Pada awalnya penerbangan perintis di Lembah Baliem dibuka oleh misionaris. Saat itu para misionaris sangat kesulitan dalam melayani umatnya. Mereka harus berjalan berhari-hari melewati jalan setapak, menyeberang sungai deras dan menaiki tebing terjal. Agar misi lebih efektif dan efisien, maka mulai sejak itu mulai dibuka lapangan terbang perintis dan penerbangan dilakukan dengan menggunakan pesawat kecil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misionaris dibantu masyarakat setempat membangun landasan hanya mengandalkan alat sekop dan linggis. Lapangan terbang ini kondisinya hanya sekedar ada, landasan pacu berupa lapangan rumput atau tanah yang diperkeras, tidak berpagar, binatang peliharaan masyarakat bebas berkeliaran.
Dengan pesawat kecil, pilot harus bisa mendarat di lapangan terbang yang berukuran pendek dan sulit ini. Pesawat yang digunakan berjenis Twin Otter. Pesawat jenis ini mampu lepas landas dalam jarak pendek, serta mendarat di landasan yang tidak beraspal. Spesifikasi ban pesawat ini mampu mendarat di landasan berumput atau berkerikil serta jarak landasannya sejauh 600 meter.
Namun, cuaca dan arah angin yang cepat berubah sangat membahayakan keselamatan penerbangan. Kondisi geografis Lembah Baliem dikelilingi pegunungan sehingga setiap pesawat sering mengalami kesulitan dalam proses pendaratan atau tinggal landas. Semua pesawat yang menuju Lembah Baliem harus menemukan pintu masuk lembah, pintu ini merupakan satu-satunya jalan utama.
Untuk pesawat-pesawat yang tidak memiliki kemampuan terbang tinggi maka caranya yaitu dengan terbang di antara celah-celah di lereng pegunungan Jayawijaya. Pilot harus piawai mengendalikan pesawat dan meliuk-liuk di antara celah-celah pegunungan.
Celah-celah ini disebut sebagai Gap yang diikuti dengan nama setempat. Beberapa di antaranya adalah Gap Bokondini, Wamena North Gap (Pass Valley) dan lain-lain. Salah satu yang populer adalah Gap Bokondini karena posisinya yang sangat menguntungkan dengan kawasan yang cukup luas untuk bermanuver dan secara statistik, cuaca di Bokondini juga mewakili kondisi cuaca di atas Wamena.
Sekalipun pilot bisa menemukan sebuah celah lubang di bawah lapisan awan-awan yang tebal dan bisa terus terbang di bawahnya, dan mendarat dengan selamat, tetaplah itu seringkali berbahaya. Tak jarang, pilot mesti bergelut dengan cuaca yang tidak menentu.
Apabila awan-awan mengantung rendah, maka jarak pandang kurang tetap agak sulit untuk membedakan satu lembah dari lembah lainnya. Jika seorang pilot tanpa disengaja membelok masuk ke sebuah lembah yang akhirnya buntu dan dia terlambat menyadarinya, maka itu bisa menyebabkan kecelakaan yang fatal.
Kejadian ini pernah dialami oleh pilot Al Lewis dengan pesawat amfibi Short SA. 6 Sealand JZ-PTA, pesawatnya melakukan penerbangan dari Sentani menuju Lembah Baliem pada 28 April 1955. Sekitar 40 menit setelah lepas landas, Lewis melaporkan bahwa pesawatnya berada di atas Sungai Idenburg, dengan ketinggian 2750 meter di atas permukaan laut, dalam keadaan hujan lebat.
Setelah itu Lewis kehilangan kontak dengan lapangan terbang Sentani. Pesawatnya mengalami turbulensi dan menabrak gunung di pintu masuk Lembah Baliem pada ketinggian 3100 meter diatas permukaan laut. Turbulensi terjadi disebabkan oleh ukuran pesawat yang kecil sehingga tidak tahan dengan angin kencang di pegunungan.
(ded/ded)