Resensi Buku: Londo, Biola, dan Bandoeng

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 08 Nov 2017 12:56 WIB
Kisah pengalaman bertemu hantu-hantu, lima di antaranya kemudian menjadi sahabat.
Ilustrasi (Foto: Thinkstock/Antonis Liokouras)
Jakarta, CNN Indonesia -- Judul: William
Penulis: Risa Saraswati
Penerbit: PT. Bukune Kreatif Citra Cetakan: 2017
Tebal: 215 halaman
 
2014 adalah pertama kalinya saya mengenal tulisan Risa Saraswati. Sepertinya saya mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Kala itu saya membaca buku pertamanya yang berjudul Danur. Seketika setelah membaca, pandangan saya seakan tidak ingin lepas dari buku itu. Risa memiliki daya tarik tersendiri dalam cerita yang dia buat. Ia menulis pengalaman nyatanya bertemu hantu-hantu dan bahkan lima hantu di antaranya bersahabat dengan Risa.

Seiring berjalannya waktu, Risa memutuskan untuk membuat buku-buku mengenai kelima teman hantunya. Dalam lima buku dan judul yang berbeda Risa berhasil memaparkan kisah hidup kelima temannya sebelum mereka meninggal. Buku-buku tersebut adalah Peter, Hendrick, Hans, Jansen, dan William.

Berbicara tentang William, buku yang satu ini berhasil menarik minat saya untuk membacanya, sama dengan buku-buku Risa yang lainnya. William adalah salah satu teman hantunya yang paling bersifat dewasa di antara teman hantu lainnya. Cerita diawali dengan kedatangan William di Indonesia bersama ibu dan ayahnya pada masa penjajahan Belanda. Seperti teman Risa yang lainnya, William pun adalah londo atau keturunan Belanda.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilihat dari sampulnya, buku ini sangat sederhana dan terkesan elegan serta misterius. Warna hitam dipilih menjadi latar buku ini menandakan kekelaman. Di sisi kiri ada gambar ilustrasi berupa anak kecil berambut pirang sedang memegang biola.

Anak kecil itu adalah representasi dari sosok William. Disebut elegan karena warna tulisan judul dan nama penulis menggunakan warna emas yang berkilau. Hal tersebut menjadi perpaduan yang artistik. Di bagian atas sampul ada sebuah kutipan berwarna putih bertuliskan “Aku adalah jiwa mati paling berbahagia. Hidup sesungguhnya, dimulai saat aku tak lagi bernapas....”.

Masuk ke isi buku, Risa berhasil menuliskan kisah hidup William dengan rinci dan jelas. Gaya penulisannya sederhana dan mudah dipahami.

Dikisahkan bahwa William adalah orang kaya yang kurang mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Ia hanya dapat mengobati rasa kesepiannya dengan bermain biola pemberian kakeknya. Risa menceritakan kisah hidup William dimulai dari tibanya William dan keluarga di tanah jajahan Batavia yang sekarang disebut Jakarta. Kehidupan William yang penuh dengan kesepian berhasil dideskripsikan oleh penulis dengan sangat baik.

Konflik terbesar dalam kisah hidup William yang dituliskan dalam buku ini kebanyakan datang dari sang Ibu, Maria van Kemmen. Sifat sombong dan angkuhnya berhasil membuat William merasa seperti tidak memiliki ibu. Maria pulalah yang menyebabkan kepindahan keluarganya ke Bandoeng (Bandung). Sedang, sang ayah adalah seorang tentara Belanda yang terlalu mencintai istrinya sehingga hanya menurut dan mengikuti keinginan Maria.

Cerita yang begitu mengalir membuat saya terhanyut dalam kisah William. Walaupun cerita ini tentang hantu namun lebih berat ke kisah semasa hidupnya sehingga tak terkesan menyeramkan melainkan terkesan menyedihkan.

Sama dengan buku Hans dan Peter yang telah dirilis tahun 2017 dan 2016. Ketiganya memiliki kesamaan dalam pengkisahan latar belakang kehidupan teman-teman hantu Risa sebelum mereka meninggal dunia. Saking terhanyutnya, saya sampai tak sadar bahwa bacaan saya sudah sampai pada akhir halaman. Kurang lebih saya menghabiskan waktu 2,5 jam untuk membaca buku William.

Dalam bukunya yang satu ini, Risa mengisahkan William dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sama seperti buku Peter dan Hans. Sesekali Risa menjeda pengisahannya dengan cerita ketika proses penulisan novelnya.

Dalam prosesnya, Risa mengombrol dengan teman hantunya secara langsung semacam curhat. William memang sosok anak yang memiliki sifat dewasa, ketika bercerita, ia hanya bercerita dengan baik tanpa sedikit pun merasa keberatan.

Beda halnya dengan Hans, dalam buku Hans diceritakan proses penulisan novelnya yang agak mengesalkan bagi Risa. Pasalnya Hans sempat tidak ingin melanjutkan ceritanya jika Risa tidak membuatkan kue.

Semasa hidupnya Hans memang gemar memerhatikan neneknya membuat kue. Demi selesainya novel Hans, terpaksa Risa harus memenuhi keinginannya. Risa juga mengatakan bahwa William lah yang membujuk Peter, Jansen, Hendrick, dan Hans agar bersedia menceritakan kisah hidupnya. “Jika Will tidak membujuk mereka, mungkin novel-novel ini tidak akan lahir,” tulis Risa.

Secara keseluruhan, novel ini bagus dan menarik untuk dibaca. Namun, saya sarankan untuk membaca Danur terlebih dahulu agar mengenal siapa William, Peter, Hans, Jansen, dan Hendrick. Dalam Danur diceritakan tentang awal mula pertemuan Risa dengan teman-teman hantunya ketika ia masih duduk di sekolah dasar. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER