Berkarya dan Jadi Rendah Hati Lewat Podcast

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 24 Nov 2017 12:25 WIB
Iqbal Hariadi adalah salah satu orang yang tidak ingin sekadar jadi penikmat. Dia juga ingin memproduksi konten. Simak kiprahnya di jagad podcast.
Foto: dok. iqbalhariadi.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Internet dan media sosial memungkinkan penggunanya untuk menikmati berbagai konten dalam bentuk multimedia. Selain dapat menikmati konten, kita juga dapat membuat dan mempublikasikan konten di media sosial.

Iqbal Hariadi adalah salah satu orang yang tidak ingin sekadar jadi penikmat. Dia juga ingin memproduksi konten. Merasa belum cukup dengan hanya menulis di blog, pada 16 Agustus 2015 Iqbal pertama kalinya memanfaatkan SoundCloud. Ia menyuguhkan konten audio dengan membuat serial podcast.

Ada tiga alasan Iqbal membuat podcast. Pertama, ia ingin membuat konten dan tema alternatif di media sosial. Sebelumnya, Iqbal aktif menulis di blog dengan alamat iqbalhariadi.com. Sejak 2011, blog Tumblr menjadi tempatnya mengeluarkan segala keresahan dan opini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkecimpung di Tumblr membuatnya muak dengan bahasan yang didominasi tentang percintaan. Padahal, masih banyak isu di sekitar yang bisa dibahas. Karena itu, Iqbal ingin membuat alternatif tema.

Iqbal memilih format audio karena format itulah yang paling memungkinkan sekaligus paling tidak ribet. Cukup menggunakan handphone saja.

Iqbal menganggap, bahasan tentang cinta saja dapat menghalangi potensi anak muda untuk membicarakan hal lain yang bisa menciptakan berbagai solusi. Anak muda seharusnya membicarakan hal-hal yang lebih besar dan penting, yang membuatnya menjadi berdaya.

Kedua, Iqbal ingin membangun percakapan. Bila anak muda belum bisa melakukan sesuatu yang konkret, setidaknya bisa melakukan diskusi. Seharusnya, menurut Iqbal, isu-isu yang tidak diangkat oleh media arus utama, dapat diangkat dan dibicarakan oleh anak-anak muda.

Terakhir, Iqbal ingin sepenuhnya jujur. Bila menyampaikan opini melalui tulisan, Iqbal mengakui ia melakukan revisi setidaknya satu kali. Hal itu membuktikan apa yang ia sampaikan tidak seratus persen sama dengan pikirannya.

Melalui podcastnya, Iqbal menyampaikan opini-opininya secara subjektif. Iqbal menyadari kadar kebenaran setiap orang itu berbeda. Sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang, bisa jadi dianggap salah oleh yang lainnya. Karena itu pula, Iqbal menamai podcastnya “Subjective”.

LearningTimes.com menuliskan, podcast membuat informasi yang disampaikan menjadi lebih personal. Podcast juga merupakan bentuk komunikasi yang efisien dalam hal waktu.

Menurut saya, pilihan Iqbal untuk membuat konten alternatif sangatlah baik. Tidak semua orang perlu konten yang bersifat visual. Podcastnya itu dapat memenuhi kebutuhan orang-orang auditori untuk memanjakan telinga mereka.

Seperti radio, podcast dapat didengarkan sambil beraktivitas. Audiens tidak perlu fokus menatap layar. Podcast juga dapat dijadikan pilihan yang baik untuk mengisi waktu, misalnya sambil menunggu.

Tema alternatif yang ditawarkan Iqbal juga memperkaya pilihan pendengar tentang hal-hal yang bisa dikonsumsi dan dipelajari lewat media sosial. Sejauh ini, Iqbal sudah membahas beragam hal secara mandiri atau bersama tamunya. Mulai dari budaya pembajakan, galau pasca kuliah, gilanya media sosial, dan lainnya. Selain menambah pengetahuan, podcast bisa membuat kita kaya dengan beragam perspektif.

Emma Rodero, profesor komunikasi Pompeu Fabra University di Barcelona, mempelajari bagaimana produksi audio mempertahankan atensi seseorang. Berdasarkan hasil penelitiannya, mendengarkan audio seperti halnya membaca, memungkinkan seseorang untuk menciptakan imajinasinya secara bebas.

Rodero menganggap, audio adalah salah satu bentuk media yang paling intim karena menjadikan seseorang membangun imajinasi secara konstan. Tidak seperti melihat halaman tertulis, mendengarkan bisa membuat seseorang lebih aktif karena otak harus memproses informasi secara cepat saat audio dimainkan.

Ada salah satu kutipan Stephen R. Covey yang cukup terkenal: “The biggest communication problem is we do not listen to understand. We listen to reply.”  Menurut saya, podcast mengajarkan kita untuk rendah hati dan menjadi pendengar yang baik. Kita menjadi fokus mendengarkan, bukan fokus memikirkan tanggapan apa yang akan diberikan. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER