Hikayat Singa Tanpa Etika di Dunia Maya

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 05 Jan 2018 17:05 WIB
Anak muda masih terlalu mudah berkomentar dan menelan suatu informasi mentah-mentah, dan menyebarkannya tanpa klarifikasi dan konfirmasi terlebih dahulu.
Ilustrasi (Foto: LoboStudioHamburg/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Setiap orang bisa menjadi singa di dunia maya.” Ungkapan ini tampaknya cukup relevan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Beberapa tahun belakangan, kita melihat semakin banyak konflik sosial yang terjadi dalam bentuk isu-isu perpecahan, adu domba, perselisihan, dan ujaran kebencian. Semua isu tersebut umumnya tersebar hingga seluruh Indonesia melalui perantara media sosial.

Kejadian yang bisa jadi awalnya kecil dan sederhana, justru diperumit dan diperbesar oleh pihak tertentu dan diperparah dengan komentar-komentar netizen di media sosial.

Bandingkan dengan awal tahun 2000, ketika arus informasi saat itu masih didominasi oleh berita televisi dan koran. Masyarakat jauh lebih berhati-hati dalam mengomentari isu tertentu, karena setiap tindakan dan ucapannya memiliki risiko hukuman sosial. Kini, dengan adanya media sosial, masyarakat jauh lebih bebas berkomentar dan mengungkapkan pendapatnya. Risiko sosial bisa ditekan dengan membuat akun-akun fiktif yang memang sengaja dibuat hanya untuk melepaskan 'uneg-uneg'.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masyarakat Indonesia, khususnya sebagian besar anak-anak muda kita, tampaknya belum bisa memilah informasi dan menggunakan media sosial dengan bijak. Mayoritas masih terlalu mudah berkomentar dan menelan suatu informasi mentah-mentah, bahkan menyebarkannya tanpa melakukan klarifikasi dan konfirmasi terlebih dahulu.

Kita juga bisa menyaksikan sendiri bagaimana perilaku anak-anak muda di media sosial. Kebanyakan dari mereka terbiasa menulis dengan kata-kata yang tidak pantas dan merasa hal tersebut adalah hal yang wajar. Padahal, komentar dan sikap yang buruk dalam aktivitas di dunia maya bisa menunjukkan kedangkalan pikiran seseorang.

Kenapa hal ini bisa terjadi di Indonesia?

Kita mungkin masih ingat dengan riset “Most Littered Nation in The World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University in New Britain tahun lalu. Hasil riset menempatkan Indonesia dalam posisi ke-60 dari 61 negara berdasarkan tingkat minat baca masyarakatnya.

Lebih jauh lagi, data UNESCO juga menyebutkan minat baca buku di Indonesia hanya sebesar 0,001 persen. Artinya, jika kamu termasuk salah satu orang yang rajin membaca buku, maka ada 999 orang lainnya di Indonesia yang tidak suka membaca. Sebuah angka yang sangat memprihatinkan.

Sekarang, kita beralih ke sebuah data yang dilansir dari statista.com. Statista menyatakan Indonesia sebagai negara dengan pengguna jejaring sosial terbanyak ke-empat di dunia. Indonesia hanya kalah dari Cina, India, dan Amerika dalam hal jumlah pengguna media sosial.

Lebih lanjut, survey Wearesocial.com menyebutkan rata-rata aktivitas harian media sosial di Indonesia mencapai 3 jam 16 menit. Aktivitas di media sosial menyita waktu yang sangat besar. Padahal, pengguna media sosial lebih banyak terdiri dari anak-anak usia sekolah hingga pekerja dan karyawan kantoran, yang notabene memiliki aktivitas cukup padat setiap hari.

Apa artinya angka-angka tersebut?

Kini, kita sadar bahwa masyarakat Indonesia jauh lebih banyak menghabiskan waktu luangnya untuk berselancar di dunia maya melalui media-media sosial dibandingkan membaca buku. Informasi-informasi instan dari media sosial lebih dihargai daripada wawasan dan pengetahuan dalam buku. Fenomena Ini terjadi pada seluruh lapisan masyarakat indonesia secara umum, baik pada kaum tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak usia sekolah, mahasiswa, hingga karyawan dan pengangguran sekalipun.

Apa akibatnya? Akibatnya, ilmu dan informasi yang didapatkan sangat-sangat terbatas. Padahal kita tahu, sebagian besar informasi-informasi di media sosial adalah informasi atau opini yang tidak menyeluruh, sering hanya mengedepankan satu sudut pandang pemikiran, bahkan fiktif atau hoax. Informasi yang didapatkan pun berasal dari sumber yang kurang kredibel.

Lantas, ketika ada suatu isu atau kejadian tertentu, seseorang akan mengomentari dan menanggapinya sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. Maka tidak heran, banyak anak-anak muda kita yang “kebablasan” dan seperti tidak tahu etika ketika berkomentar di media sosial. Karena memang hanya sebatas itulah wawasan dan pengetahuan yang mereka dimiliki.

Anak-anak muda ini langsung merasa menjadi ahli pada suatu kasus, bahkan berani menentang dan menghina orang yang memang berkompeten dan justru seharusnya didengarkan. Maka kita lihat sekarang, ada seorang yang tiba-tiba merasa ahli soal agama tertentu, padahal jarang atau tidak pernah membaca kitab sucinya. Ada pula yang seolah-olah menjadi seorang ahli hukum paling hebat, padahal dokumen peraturan dan KUHP saja dia tidak pernah lihat.

Jadi tidak aneh ketika timbul kekhawatiran tentang masa depan Indonesia. Minat baca buku yang sangat rendah, ditambah penggunaan media sosial yang berlebihan, membuat perkembangan keilmuan generasi milenial Indonesia terancam. Perilaku dan pemikiran anak umumnya berkembang sesuai dengan apa yang dia perhatikan.

Maka, bagaimanakah jika setiap hari yang mereka lihat adalah komentar, pesan, informasi, dan isu-isu yang tidak banyak memberikan manfaat, namun malah menunjukkan kebobrokan akal? Tak ayal, perilaku dan pemikiran seperti itulah yang akan mereka ikuti. Padalah, pemuda adalah generasi masa depan bangsa.

Kemajuan teknologi memang akan terus terjadi. Internet, dan media sosial khususnya, adalah pedang bermata dua yang tentu memiliki dampak positif maupun negatif. Menjadi tanggungjawab kita semua untuk menjaga keluarga dan anak-anak dari penggunaan media sosial yang tidak tepat.

Orangtua juga harus membiasakan anaknya untuk membaca sejak usia dini dan meneliti sesuatu sebelum menilai dan berkomentar. Sehingga, di kemudian hari mereka terbiasa menyaring dan menanggapi isu-isu yang beredar dengan cerdas, tanpa merasa benar sendiri dan menjatuhkan orang lain. Terakhir, pemerintah juga harus turut serta mendukung dengan menyediakan fasilitas yang berkualitas dan mudah dijangkau, kalau tidak ingin Indonesia tertinggal di masa depan.

Satria Tradinatama
Bekerja sebagai staf di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan.
Mahasiswa Program Diploma IV Akuntansi di Politeknik Keuangan Negara STAN. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER