Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap tanggal 3 Desember, Indonesia bahkan dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI). Hari Disabilitas Internasional, bukan lagi Hari Penyandang Cacat (Hipenca).
Perubahan nama dari ‘penyandang cacat’ menjadi ‘disabilitas’ ini muncul setelah Indonesia meratifikasi Konfensi PBB yaitu UN Convention on The right of Person with Disability. Pengubahan istilah ini patut diapresiasi karena dari segi bahasa ada yang keliru dari penggunaan istilah ‘cacat’.
Kata ‘cacat’ kini dirasa tidak pas dan kerap kali memiliki konotasi yang negatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cacat merupakan kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya menjadi kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada arti lain, cacat diartikan sebagai celaan: aib. Hal itulah yang menjadikan ‘cacat’ menjadi memiliki konotasi yang negatif karena konteks katanya yang digunakan secara serampangan. Kemudian, masih dalam KBBI, cacat diartikan sebagai kekurangan “mutu”.
Hal yang membuat miris adalah penggunaan kata “mutu”. Kata ini digunakan untuk menjelaskan kondisi suatu barang atau benda. Seperti “kain ini bermutu jelek” atau “celana ini mutunya rendah”. Maksudnya adalah menjadi kurang etis karena dalam konteks ini KBBI membandingkan tubuh manusia dengan barang atau benda.
Namun, kata disabilitas sendiri sebagai mana kita ketahui adalah serapan dari bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk mencari padanan kata yang tepat dan sesuai dalam bahasa Indonesia. Tetapi hal tersebut bukan menjadi alasan untuk menjadi keminggris jika menggunakan istilah Joss Wibisono. Dalam hal ini, diharapkan Badan Pusat Bahasa dapat segera menemukan kata yang tepat secara konseptual, filosofis, ideologis, estetis, dan kultural.
Dengan perubahan istilah ini tentunya harus terjadi pula perubahan pendekatan terhadap para disabilitas. Perubahan pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan belas kasihan menjadi pendekatan hak sosial.
Kita menyadari bahwa masih ada stigma terhadap penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak berdaya, tidak mampu, sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang setara. Hal tersebut menandakan bahwa masih banyaknya peroalan-persoalan yang dihadapi para disabilitas, seperti perlakuan diskriminatif dan rendahnya tingkat kesejahteraan pada disabilitas.
Sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, maka kedudukan hak dan martabat penyandang disabilitas sama dengan warga negara Indonesia lainnya dalam setiap aspek kehidupan. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran dari masyarakat maupun pemerintah untuk sadar dan senan tiasa untuk menghargai hak-hak para disabilitas. Namun, sudah sejauh mana kita atau pemerintah dalam memenuhi hak-hak para disabilitas?
Permasalahan fasilitas publik dan kesejahteraan merupakan dua persoalan utama yang harus ditangani pemerintah. Pada fasilitas publik, hak-hak para disabilitas ini sudah dilindungi oleh UU Nomor 8 Tahun 2016 Bab II Pasal 18 tentang Hak aksesibilitas.
Pada UU tersebut dikatakan bahwa para disabilitas berhak untuk mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu. Berkaca pada UU tersebut, di Bandung sendiri untuk pemenuhan hak aksesibilitas untuk para disabilitas masih dirasa kurang. Walau beberapa waktu lalu Bandung telah resmi mengoprasikan tiga bus yang ramah bagi disabilitas namun hal itu masih dirasa kurang maksimal.
Menurut data Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM), di Bandung sendiri ada 8.038 warga disabilitas. Tiga bus untuk 8.038 warga disabilitas dirasa sangat jauh dari kata cukup. Maka dari itu, pemerintah harus meningkatkan lagi pemenuhan hak aksesibilitas bagi para disabilitas agar deklarasi Bandung sebagai kota Hak Asasi Manusia tidak sebatas ucapan saja.
Kemudian persoalan lain yang harus dipenuhi oleh pemerintah adalah persoalan kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah pemenuhan lapangan kerja bagi para disabilitas.
Pada umumnya, perusahaan tidak mau menempatkan seorang disabilitas sebagai pekerja karena dinilai kurang efektif. Hal tersebut juga sudah diatur di UU Nomor 8 Tahun 2016 Bab II pasal 11 tentang Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi. Pada poin A di pasal itu mengatakan bahwa para disabilitas berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi.
Menurut data RBM Kota Bandung pada tahun 2016, penyerapan pekerja disabilitas masih kurang dari satu persen. Hal ini masih jauh dari angka yang ditentukan dalam UU No 8 tahun 2016. Berdasarkan UU tersebut, pemerintah mewajibkan perusahaan negara untuk mempekerjaan penyandang disabilitas sebesar 2 persen dari total tenaga kerja.
Perlakuan diskriminasi yang kerap kali terjadi seharusnya bisa kita kikis sedikit demi sedikit. Juga, pemenuhan hak bagi para disabilitas haruslah terus ditingkatkan oleh pemerintah. Pada peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) kali ini sudah seharusnya dijadikan bahan introspeksi bagi kita ataupun bagi pemerintah untuk senantiasa memandang positif pada setiap perbedaan yang ada.
(ded/ded)