Ragam Bahasa Gaul dari Zaman ke Zaman

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 15 Jan 2018 12:45 WIB
Bahasa gaul berkembang di kalangan anak muda dari zaman ke zaman. Apakah ini pengingkaran terhadap Sumpah Pemuda?
Peringatan Sumpah Pemuda di Gresik, beberapa waktu lalu. (Foto: ANTARA FOTO/Moch Asim)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Penggalan kalimat ini tampak sederhana namun memiliki makna yang mendalam bagi bangsa ini. Tujuh belas tahun sebelum Indonesia merdeka, kalimat di atas sudah didaraskan oleh pemuda-pemudi di tanah air pada Hari Sumpah Pemuda. Ikrar tersebut menegaskan bahwa hanya Bahasa Indonesialah yang dijunjung tinggi di tanah air.

Dalam perkembangannya, bahasa selalu berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan zaman. Hal ini menunjukan bahwa bahasa sejalan dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam perkembangan zaman, yakni ideologi, budaya dan teknologi, yang nantinya akan memiliki pengaruh pada bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat. Perkembangan yang terjadi pada bahasa tersebut dapat berupa perkembangan dan perubahan pada bahasa yang kita gunakan sehari-hari.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang dipakai oleh NKRI sejak merdeka dan diikrarkan pada Sumpah Pemuda 1928. Meski demikian, banyak kalangan yang belum mengindahkan ikrar tersebut yang menyatakan bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dijunjung tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, junjung memiliki arti memuliakan, menghormati, mengindahkan, menaati, menuruti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun pada realitasnya, banyak dari kalangan masyarakat yang kurang menjunjung tinggi Bahasa Indonesia. Salah satu penyumbang terbesarnya adalah genarasi muda. Dari zaman ke zaman, banyak bahasa percakapan baru yang bermunculan di kalangan remaja. Contohnya adalah bahasa alay, bahasa prokem, bahasa penyisipan -ok-, bahasa yang membalik susunan abjad, dan sebagainya.

Ragam Bahasa Gaul
Anak muda dari zaman ke zaman selalu memiliki ciri khasnya tersendiri dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Mungkin komunikasi dengan menggunakan bahasa gaul dilakukan untuk menunjukkan keakraban dengan teman sebaya, dan agar tidak terkesan kaku dalam menjalani suatu percakapan.

Terdapat beberapa bahasa gaul yang digunakan oleh anak muda sampai saat ini, di antaranya adalah bahasa alay, yakni bahasa yang mengubah gaya tulisan, dilakukan suka-suka dan bebas. Kemudian ada bahasa prokem yang pada awalnya digunakan oleh remaja ibukota untuk berinteraksi, konon bahasa ini awalnya digunakan oleh kalangan preman di Jakarta. Contohnya adalah istilah cewek, cowok, yang muncul sebagai pengganti kata laki-laki dan perempuan.

Ada pula bahasa yang penuturan abjadnya terbalik, yakni dibaca dari belakang ke depan, contohnya adalah kata “enak” yang diganti menjadi k-a-n-e, “kane”. Selain dibalik, bahaas gaul juga ada yang menyisipkan kata “ok” di setiap katanya. Contohnya adalah kata “bapak”, yang diganti menjadi bokap, kata “siapa” yang diganti menjadi sokap, kata “sini” yang diganti menjadi sokin. Selain bahasa-bahasa tersebut, kaum muda juga terbiasa untuk mencampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris.

Kemudian yang menjadi pertanyaannya, apakah penggunaan bahasa gaul sebagai bahasa percakapan sehari-hari merupakan bentuk pengingkaran sumpah yang telah diikrarkan 89 tahun yang lalu? Apapun jawaban dari pertanyaan tersebut, satu hal yang harus diperhatikan, yakni etika dalam berkomunikasi, terutama dengan orang yang lebih tua.

Komunikasi Antar Generasi
Dilansir dari Okezone dan Koran Sindo, tata cara berkomunikasi antara mahasiswa dengan dosen saat ini mulai dibuat aturan oleh berbagai pihak universitas. Alasannya, tak karena adanya perbedaan gaya komunikasi antara generasi milenial (mahasiswa) dengan generasi dari kalangan dosen. Perbedaan tersebut disinyalir membawa polemik dan prokontra.

Universitas Indonesia (UI) adalah salah satu contoh yang telah menerapkan aturan tersebut. UI mengeluarkan aturan berkomunikasi bagi kalangan mahasiswa yakni, "Etika Menghubungi Dosen melalui Telepon Genggam". Selain UI, beberapa universitas juga menerapkan hal yang sama, yakni Unair, Unpad, UGM, dan lain-lain.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), Intan Ahmad menyambut positif upaya kampus untuk mengatur etika berkomunikasi mahasiswanya. Kebijakan soal itu diserahkan ke setiap kampus untuk mengaturnya.

Jika bahasa dan etika berkomunikasi baru “diperiksa” saat di bangku kuliah, apakah tdak teralu telat? Bukankah hal itu seharusnya sudah ditanamkan oleh guru-guru di bangsu sekolah dasar agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dengan etika yang baik dan berbahasa Indonesia yang baik pun?

Dilansir dari Tirto.id, peran 'polisi' bahasa sangat dibutuhkan saat ini, meski kadang sering diolok-olok. Ia dibutuhkan untuk mengkritisi setiap tulsian dan ucapan yang bersifat rancu atau memiliki makna ganda, yang bisa diucapkan oleh siapa saja. Selain itu,, masyarakat dinilai memerlukan sosok teladan dalam penggunaan bahasa agar masyarakat tidak abai terhadap pentingnya keterampilan berbahasa.

Keterampilan berbahasa memastikan pesan tersampaikan secara akurat dan mencerminkan kepintaran pengguna bahasa. Jadi, kita dapat mnyimpulkan bahwa kebijakan kampus tentang etika berkomunikasi seharusnya tidak perlu sampai sedetil itu. Akan tetapi setiap pengajar juga harus mengingatkan mahasiswanya cara berkomunikasi yang baik, terutama bagi pengajar dan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER