Jakarta, CNN Indonesia -- Judul : The Puppeteer
Penulis : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
Terbit : September 2017
Jumlah Halaman : 352 halaman
ISBN : 978-602-441-024-7
Harga : Rp 65.000
“Kepada Agnes. Aku telah berjanji untuk menuliskan kabar kepadamu. Ingatkah? Setidaknya aku akan mencoba.” - Jakop Jacobsen, halaman 9.
Kutipan di atas merupakan kalimat awal yang dapat kita temukan dalam buku
The Puppeteer. Seperti yang dapat kita perkirakan, cerita dalam buku ini hadir karena niatan Jakop, panggilan akrab Jakop Jacobsen yang ditunjukkan kepada Agnes.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jakop, sesuai dengan sinopsis yang tertera di cover belakang buku merupakan pria dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Namun, Jakop memiliki hobi yang unik apabila kita bandingkan dengan kehidupan orang lain. Dia memiliki hobi untuk datang ke pemakaman orang lain. Bahkan, konyolnya lagi adalah dia mengunjungi pemakaman yang dia sendiri tidak tahu siapakah yang meninggal dan dia tidak memiliki ikatan darah apa pun dengan orang tersebut.
Dalam buku ini, Jakop bercerita kalau dia beberapa kali mengunjungi pemakaman yang nantinya akan mengantarnya untuk bertemu dengan Agnes. Dimulai dari kematian Erik, yang mempunyai tiga orang anak dan salah satu anaknya ternyata berkerabat dengan Agnes. Hingga kematian seorang teman lama bernama Jon-Jon.
Biasanya, walaupun Jakop tidak kenal dengan orang yang akan dimakamkan, dia akan meriset terlebih dahulu orang tersebut. Lalu, dengan hasil risetnya dia akan duduk bersama keluarga yang ditinggalkan dan menjelaskan kepada mereka bagaimana dia dan almarhum berkenalan. Sangat menarik memang.
Dengan hobinya tersebut, Jakop pun turut sedih seperti keluarga yang ditinggalkan. Dia pun banyak memetik pelajaran tentang kisah keluarga tersebut. Seperti kisah Runar, Jakop memetik pelajaran kalau bagaimana pun saudaramu atau keluargamu, seharusnya kita tidak meninggalkan dan menjauhinya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kita pun akan merasa sepi kalau sering sendirian dan membutuhkan dukungan keluarga.
Dalam buku ini pun dikisahkan bahwa Jakop memiliki teman dekat bernama Pelle. Terkadang juga, Jakop memperkenalkan dirinya dengan nama Pelle kepada orang-orang yang baru dia temui. Pelle, atau Mister Skrindo digambarkan lebih cerdas dibandingkan Jakop. Pelle pun sering berdebat tentang asal muasal kata kepada Jakop.
Berbicara tentang perdebatan antara Pelle dan Jakop, saya merasa Jostein tak lupa memberikan aspek latar belakangnya dengan ciamik. Dia terkadang menuliskan perdebatan atau penjelasan Jakop tentang asal muasal kata yang dalam buku ini tertulis berasal dari rumpun bahasa Jerman. Sentuhan Norwegia dalam buku ini dapat dikatakan masih terasa.
Sayangnya, saya terkejut mendapatkan fakta bahwa Pelle ternyata boneka. Kita dapat dipastikan tertipu sampai penjelasan itu dijelaskan dengan detail di bab “Pelle”. Kita pun akhirnya dapat merasakan emosi yang dialami Jakop dengan istrinya. Kalau kita memihak Jakop, kita pasti akan berpendapat bermain dengan boneka sampai sudah dewasa pun tidak masalah. Akan tetapi, apabila kita memihak kepada istri Jakop tentunya kita merasa Jakop sudah memalukan dirinya. Akibatnya, dapat kita tafsirkan bahwa istri Jakop ternyata malu mempunyai suami seperti Jakop dan akhirnya mereka berpisah.
“Kebersamaan” antara Jakop dan Pelle pun ternyata ada sebabnya. Ini berkaitan dengan masa lalu keluarga Jakop. Jakop ternyata tidak mempunyai kakak dan adik. Dia pun telah ditinggalkan oleh ayahnya dan dia sudah lama tinggal dengan ibunya. Karena kebersamaan yang kurang atas keluarga, dia pun sering menghabiskan waktu dan berbagi kisah dengan Pelle. Sayangnya, hal ini pun membuat dia menjadi korban risak.
Pada akhirnya, kita akan setuju bahwa buku ini memiliki kisah filosofis tentang makna keluarga. Bagaimana seorang Jakop sebagai tokoh utama dengan hobinya akan mendapatkan nilai-nilai kekeluargaan dari keluarga seseorang yang dimakamkan.
Testimoni-testimoni di cover pun turut membantu pembaca nantinya dalam memahami isi buku ini. Pertama, penjelasan bahwa buku ini berkisah tentang kesendirian pun dapat kita rasakan melalui tokoh Jakop. Lalu, bagaimana caranya hidup pun ternyata dimaknai berbeda oleh Jakop maupun orang-orang yang sudah meninggal.
Sayangnya, buku ini pun memiliki kelemahannya. Pembahasan asal muasal sebuah kata pun ternyata tidak memiliki peran yang penting dalam bahasan buku ini. Pembahasan itu hanya menjadi patokan dalam mengantar Jakop bertemu dengan beberapa orang. Kita mungkin agak terganggu dengan pembahasan asal muasal kata yang terkesan dipaksakan dalam beberapa halaman buku ini.
Lalu, akhir buku ini pun agak kurang jelas. Apakah Agnes nantinya menikah dengan Jakop? Atau Jakop akan terus mengagumi diam-diam Agnes dan tidak akan ke pemakaman lagi? Selanjutnya, pemunculan orang berkulit hitam yang selalu ada ketika Jakop berkunjung ke suatu pemakaman pun ternyata tidak memberikan hal yang amat penting di buku ini.
Namun, buku ini tetap layak dibaca. Apalagi bagi penggemar karya-karya dari Jostein Gaardner. Buku ini pun lumayan untuk kita yang ingin merenungi pemaknaan keluarga secara filosofis. Walaupun pada akhirnya terdapat beberapa kisah bohongan dalam buku ini, tetapi kita akan tetap mendapatkan makna tentang keluarga yang secara menarik dikisahkan oleh Jostein melalui karakter utamanya, Jakop Jacobsen.
(ded/ded)