Lewat Dompet Digital Meningkatkan Penerimaan Pajak?

Putra Aryotama | CNN Indonesia
Kamis, 25 Jan 2018 12:48 WIB
Salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah mengandalkan data. Data yang akurat bikin tidak ada ruang untuk mengelak.
Ilustrasi (Foto: Thinkstock/Ridofranz)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bayangkan dunia di mana setiap orang bisa keluar rumah tanpa perlu khawatir tidak membawa dompet dan uang. Penggunaan uang fisik dalam kehidupan sehari-hari sudah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat sehingga ide kehidupan cashless bisa dibilang radikal.

Penggunaan uang fisik sudah semakin berkurang dengan hadirnya kartu debit, kartu kredit, serta internet banking. Kemajuan teknologi komunikasi yang pesat melahirkan inovasi-inovasi yang tidak diprediksi sebelumnya. Siapa sangka, saat ini ada kemungkinan keberadaan uang fisik bisa dieliminasi sepenuhnya.

Di China, dampak teknologi terhadap uang fisik sudah sangat terasa. Di sana, penggunaan dompet digital dalam melakukan pembayaran diperkirakan telah melampaui penggunaan uang konvensional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menggunakan teknologi quick response code (QR code), penyedia platform seperti WeChat dan Alipay memudahkan penggunannya untuk memindahkan “uang” yang dimilikinya kepada pihak lain menggunakan smartphone. Supermarket, toko kelontong, penjual di pasar, pedagang kaki lima dan bahkan pengemis pun memakainya sebagai media transaksi dan pembayaran.

Di Indonesia saat ini, dari total populasi, hanya 47 persen yang memiliki ponsel pintar dan 51 persen yang mengakses internet. Pembayaran digital sudah mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia dengan hadirnya beberapa aplikasi-aplikasi, namun penggunaannya masih terbatas.

TCash dan PayPro misalnya, hanya bisa digunakan untuk melakukan pembayaran di vendor dan tempat-tempat tertentu. GoPay dan GrabPay hanya bisa digunakan di internal aplikasi masing-masing yaitu GoJek dan Grab.

Apa hubungannya dengan pajak? Berdasarkan data World Bank, Indonesia saat ini merupakan salah satu negara dengan tax ratio terendah di dunia. Jika melihat negara-negara tetangga se-Asia Tenggara: Singapura 14,3 persen dan Thailand 15,7 persen, Indonesia masih berada di bawah.

Negara-negara maju rata-rata memiliki tax ratio di atas angka 30 persen. Salah satu permasalahan utama rendahnya tax ratio Indonesia adalah kurangnya tingkat kepatuhan dan kontribusi masyarakat.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), jumlah Wajib Pajak (WP) yang terdaftar sampai dengan akhir 2016 adalah sebanyak 32.769.215 WP, sekitar 29 juta di antaranya adalah WP orang pribadi - angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan total populasi 261,1 juta penduduk.

Berdasarkan laporan kinerja DJP tahun 2016, dari 20 juta WP yang wajib menyampaikan SPT, baru 63,15 persen (sekitar 12 juta) yang melaksanakan kewajibannya. SPT yang disampaikan pun belum tentu benar. Kapasitas pajak di Indonesia belum maksimal.

Melihat data-data tersebut mungkin muncul pertanyaan: Kenapa tidak diinventarisasi saja WP dari rumah ke rumah? Sebagai informasi, DJP telah melaksanakan program Sensus Pajak Nasional pada tahun 2012, namun hasil dan dampaknya terhadap penerimaan tidak terlalu menggembirakan.

Kenaikan realisasi penerimaan pajak tahun 2011 sebesar 114,51 triliun, 2012 sebesar 92,69 triliun, dan 2013 sebesar 85,968 triliun, menurun berturut-turut untuk tiga tahun tersebut. Jumlah penambahan Wajib Pajak orang pribadi juga menurun: tahun 2011 sebanyak 3.001.035 orang sedangkan 2012 sebanyak 2.249.639 orang. Inventarisasi secara door to door tidaklah efektif dan efisien.

Salah satu cara yang paling efektif bagi DJP untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi adalah dengan mengandalkan data. Data yang akurat dan handal tidak bisa memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengelak.

Undang-undang KUP saat ini telah memberikan legitimasi kepada DJP untuk mendapatkan data dari berbagai pihak: instansi pemerintah (pusat dan daerah) maupun swasta (perbankan, asosiasi, dan sebagainya). Saat ini data yang diperoleh DJP hanyalah data ekonomi formal.

Data ekonomi informal masih sangat sulit ditelusuri dan direkam. Padahal sektor informal di Indonesia memiliki ukuran yang sangat besar, namun kontribusi pajak yang kecil. Selain itu masih banyak juga usaha-usaha di sektor formal yang masih bisa menyembunyikan penghasilannya tanpa terdeteksi.

Di sinilah peran ekonomi digital. Pemerintah dapat memanfaatkannya dalam usaha menggali potensi pajak yang sebelumnya belum pernah tersentuh sama sekali. Pada ekonomi di mana setiap orang menggunakan dompet digital, semua data transaksi (arus kas masuk dan keluar seseorang) akan terekam.

Pemerintah bisa mendapat akses data ini melalui pihak penyedia platform dan kemudian menggunakannya untuk menggali potensi pajak serta sebagai alat pembuktian yang kuat. Tidak ada celah bagi seseorang untuk mengelak dari pajak. Dengan begitu, kepatuhan dan penerimaan diharapkan akan meningkat.

Untuk mencapai keadaan tersebut, dukungan pemerintah sangat diperlukan. Dari segi aturan, potongan tarif PPN untuk pembelian smartphone mungkin bisa meningkatkan penggunaannya di Indonesia. Skema insentif pajak bisa diberikan kepada mereka yang mengembangkan platform dompet-dompet digital ini.

Insentif juga diberikan kepada mereka yang menggunakan dompet digital dalam keseharian transaksinya. Mungkin berupa penurunan tarif PPh sebesar 1-2 persen lebih rendah daripada mereka yang tidak menggunakan dompet digital, bisa memberikan dorongan.

Tujuannya yaitu mendorong semakin banyak pengguna agar beralih menggunakan dompet digital. Semakin banyak yang beralih, maka akan menimbulkan efek domino. Mereka yang tidak ikut dalam revolusi digital ini akan merasakan sebuah disinsentif, biaya dari tidak menggunakan dompet digital akan semakin besar. Pemerintah juga bisa membuka akses langsung pembayaran pajak melalui dompet digital ke kas negara. Hal ini akan memberikan tambahan alasan bagi penggunaan dompet digital.

Penggunaan dompet digital juga membutuhkan dukungan infrastruktur pemerintah. Ketersediaan dan kecepatan akses internet harus bisa menjangkau seluruh wilayah negara. Ini adalah faktor yang krusial dalam mendukung ekonomi digital.

Selain itu, masyarakat juga harus merasa aman terkait data transaksi ekonomi mereka. Pemerintah perlu membuat ketentuan yang menjamin kerahasiaan data-data transaksi ini. Simplifikasi dan dukungan regulasi dari Bank Indonesia juga sangat diperlukan, tanpa mengorbankan stabilitas moneter. Harapannya dalam jangka panjang, dengan semakin berkembangnya ekonomi digital maka sistem perpajakan yang telah dibangun ini akan bekerja secara autopilot dalam menarik dana dari masyarakat.

Tahun 2018 diperkirakan akan menjadi tahun kebangkitan mobile payment dan dompet digital di Indonesia. Akan sangat menarik melihat persaingan dan pertarungan penyedia-penyedia platform dalam usaha meraih pangsa pasar yang baru ini. Pemerintah memiliki peluang dan kepentingan yang besar di bidang ini. Untuk itu langkah-langkah yang diambil pemerintah akan dinanti.

Putra Aryotama
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Program Tugas Belajar DIV Akuntansi Alih Program (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER