Dari Malang Membongkar Jejak Vaksin Palsu

Deddy S | CNN Indonesia
Kamis, 25 Jan 2018 10:57 WIB
Tiga mahasiswi dari Teknik Kimia Universitas Brawijaya membuat inovasi yang bisa mendeteksi vaksin palsu. Bagaimana cara kerjanya?
Tim dari Universitas Brawijaya yang membuat X-Factor. Tiga dari mereka, yakni ketiga mahasiswi itu memenangi Bosch Young Inventors II dan berhak berkunjung ke pusat riset Bosch di Singapura, baru-baru ini. (Foto: Dok. Bosch)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak tampak raut kelelahan ketiga mahasiswi berkerudung dari Malang itu saat tiba suatu siang di sebuah restoran Jepang di bilangan Depok, akhir pekan lalu. Padahal mereka baru saja melakukan perjalanan panjang dari Singapura, setibanya di Bandara Soekarno-Hatta langsung berkendara ke Depok, yang macet.

Mencicipi aneka makanan Jepang di atas meja adalah perjuangan buat ketiganya, apalagi ada ikan mentah di sana. Tapi menjelaskan apa yang sudah dicapai oleh mahasiswi dari Universitas Brawijaya itu, mata mereka berbinar-binar dan bersemangat.

Ketiga mahasiswi itu: Oktavia Ditasari, Audina Vidya Restanty, dan Apri Dwi Megawati, adalah pemenang Bosch Young Inventors 2017. Atas kemenangan itu, ketiga mahasiswi jurusan Teknik Kimia itu berhak berkunjung ke pusat penelitian dan pengembangan Bosch di Singapura dan mengikuti Bosch Innovation Bootcamp pada 17-20 Januari lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penemuan sebuah alat bernama X-Factor yang dapat mendeteksi vaksin palsu, telah mengantar mereka ke Singapura. Mereka mengalahkan tim dari Universitas Gadjah Mada yang membuat Solacan, lampu alternatif yang bekerja tanpa listrik. Mereka juga mengalahkan tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengembangkan inkubator portabel, yang sangat berguna sebagai aset evakuasi bayi saat terjadi bencana alam.

X-Factor juga membawa mereka ke Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) Ke-30 Tahun 2017 yang diselenggarakan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar beberapa waktu lalu. Mereka meraih medali emas untuk kategori poster dan meraih medali perunggu untuk kategori presentasi.

Kepada CNN Student Okti (panggilan akrab Octavia) mengatakan X-Factor diciptakan untuk menjawab permasalahan peredaran vaksin palsu yang dapat merugikan masyarakat. Padahal vaksin itu sangat penting untuk mengurangi angka kematian. Sedang untuk mendeteksi vaksin palsu membutuhkan waktu dan biaya.

“Jadi kami membuat inovasi bernama X-Factor yang bisa dengan cepat mendeteksi vaksin palsu dan bisa diaplikasikan di bagian penyediaan obat dan vaksin di rumah-rumah sakit,” kata Okti.

X-Factor terdiri dari tiga sistem, yaitu sistem untuk mengontrol alat, sistem untuk membaca spektrum warna pada vaksin, dan sistem daya untuk pengoperasian alat itu. Pada alat itu ada piringan sentrifugal yang bisa berputar sampai 300 RPM, di situ ada kertas saring untuk ditetesi vaksin yang hendak diuji.

“Lalu ada sinar UV untuk menyinari sebaran vaksin dan sensor warna untuk memeriksa spektrum warna, sehingga dari sensor warna diketahui vaksin itu palsu atau tidak,” tutur Mega.

Setiap vaksin mengandung molekul organik. Interaksi antara sinar UV dengan molekul akan menyebabkan perpindahan elektron dari keadaan dasar ke keadaan energi tinggi. Pada kisaran energi tertentu, elektron akan kembali ke keadaan dasar dan menyisakan serapan warna. Itulah yang dibaca oleh sensor warna.
 
Untuk memastikan vaksin itu palsu atau tidak, sensor akan menunjukkan nilai RGB pada tiap-tiap sebaran warna. Sebelumnya, mereka sudah membuat standar acuan nilai RGB tiap-tiap vaksin yang diuji. Sehingga, saat menguji vaksin sejenis palsu atau asli, mereka akan mengacu pada standar tersebut.

“Standarnya kami bikin sendiri dengan menguji vaksin-vaksin asli yang didapatkan dari sumber yang terpercaya,” kata Tanti, panggilan akrab Audina Vidya Restanty. Saat ini X-Factor sudah bisa dipakai untuk memeriksa vaksin polio, campak, CRD (unggas), ND-IB (unggas), Rabisin (rabies pada kucing), dan velocel 3 (kucing).

Pengembangan lebih lanjut, mereka berencana membuat X-Factor yang lebih ringkas. Saat ini bobot X-Factor adalah 5 kilogram lebih. Itu dianggap terlalu berat. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER