Jakarta, CNN Indonesia -- Pada 1942, Isaac Asimov, seorang penulis kisah fiksi ilmiah menerbitkan sebuah cerita pendek berjudul
Runaround. Di sana ia memperkenalkan tiga prinsip yang mengatur perilaku robot. Ketiga prinsip yang kemudian dikenal dengan istilah
Three Laws of Robotics itu berbunyi seperti ini:
1. A robot may not injure a human being or, through inaction, allow a human being to come to harm. 2. A robot must obey the orders given it by human beings except where such orders would conflict with the First Law.3. A robot must protect its own existence as long as such protection does not conflict with the First or Second Laws.Prinsip tersebut adalah fitur unik yang ditanamkan Asimov pada robot dalam cerita-cerita fiksinya di mana semua robotnya harus patuh agar tidak berbalik melawan penciptanya, manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, hal tersebut tak lagi sekadar menjadi cerita dalam novel atau film fiksi ilmiah. Saat ini, teknologi robotik dan
artificial intelligence telah berkembang pesat dan mulai memengaruhi kehidupan manusia, baik secara positif maupun negatif.
Dalam bukunya
The Technological Singularity, Professor Murray Shanahan (2015) menjelaskan bagaimana mekanisme “
de regueur” berlangsung, yaitu manusia akan tergantikan oleh mesin. Menurutnya perkembangan teknologi
AI akan berdampak terutama di bidang ekonomi dan pekerjaan, di mana ia akan menciptakan pengangguran dan ketimpangan sosial yang lebih besar jika tidak ada upaya untuk mencegahnya.
Fenomena ini pun memunculkan perdebatan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah mengenai apakah kita perlu menambah prinsip keempat dalam Asimov’s Law yang berbunyi “Robot harus membayar pajak untuk menjaga ketiga prinsip sebelumnya”.
Penggunaan robot dan otomatisasi telah jamak diterapkan di negara-negara maju seperti di Jepang, Amerika Serikat, dan Korea. Alasan utamanya tentu masalah efisiensi, di mana
labor cost terus naik sementara teknologi semakin terjangkau dan lebih efisien.
Beberapa kelebihan dari penggunaan robot antara lain: robot relatif stabil dalam bekerja, tidak perlu cuti, mampu beroperasi 24 jam dalam sehari, dan bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya yang tidak dapat dilakukan manusia. Efeknya adalah produksi akan meningkat yang kemudian akan memutar laju roda perekonomian.
Peningkatan ini jika disikapi dengan benar dan didistribusikan dengan baik justru akan menjadi alat untuk melawan ketimpangan ekonomi. Namun di sisi lain, terdapat potensi permasalahan ekonomi yang bisa timbul dari semakin banyaknya otomatisasi dan berkurangnya tenaga kerja, yaitu berkurangnya penerimaan pajak penghasilan.
Ke depannya (bahkan sudah dimulai saat ini), robot tidak hanya akan mengambil alih pekerjaan klerikal atau administratif, namun juga dapat menggantikan profesi perawat, dokter, konsultan hukum, polisi, olahragawan, bahkan seniman. Perkembangan inilah yang turut memicu munculnya perdebatan mengenai konsep “Robot Tax”.
Pihak yang kontra berargumen bahwa
robot tax akan menghambat inovasi. Namun, kenyataannya perkembangan teknologi tidak bisa dilawan. Di masa depan ketika harga teknologi semakin terjangkau, perusahaan padat karya pasti akan semakin beralih ke otomatisasi dengan penggunaan robot yang semakin banyak, belum lagi profesi-profesi lain yang akan tergantikan oleh robot. Peraturan mengenai
Robot Tax ini bisa dibilang sebagai skenario “make the best of it”, mendapatkan hal yang terbaik dari kondisi terburuk.
Joao Guerreiro, et al (2017) dalam buku
Should Robots be Taxed? mengungkapkan bahwa tanpa perubahan pada sistem perpajakan AS saat ini, biaya otomatisasi yang turun cukup besar akan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan pendapatan. Meskipun pekerja tetap dapat mempertahankan pekerjaan mereka, upah mereka akan diturunkan untuk membuat mereka tetap kompetitif dengan otomatisasi (penggunaan mesin) dalam produksi.
Dengan adanya
Robot Tax, hal ini dapat diminimalisasi. Ryan Abbot dan Bret Bogenschneider (2017) mengemukakan bahwa adanya dana yang didapat dari pajak robot itu akan bisa mengurangi
income inequality melalui dua cara: pertama, investasi di bidang pendidikan untuk melatih pekerja dalam jenis pekerjaan baru, dan kedua, investasi dalam manfaat sosial untuk mendistribusikan keuntungan yang diperoleh dari otomatisasi.
Namun penerapan
Robot Tax sendiri tentunya tidak mudah. Ada beberapa isu yang perlu diperjelas, mulai dari bagaimana mendefinisikan robot itu sendiri ataupun bagaimana mekanisme penerapan pajaknya. Setidaknya isu ini harus ditanggapi serius dan mulai dibahas dunia internasional agar diperoleh kesepakatan bersama, karena harus diakui perkembangan teknologi sudah tak dapat dibendung lagi.
Penggunaan robot dalam industri setidaknya harus dirancang agar patuh terhadap peraturan yang dibuat manusia, termasuk peraturan perpajakan. Sebelum suatu hari nanti mereka punya kemampuan untuk bersikap dan memutuskannya sendiri, dan cerita atau film fiksi tentang supremasi robot yang sering kita lihat itu menjadi kenyataan.
Elvanes Yoda Mustikasasti
Mahasiswa D4 di Politeknik Keuangan Negara - STAN
(ded/ded)