Jakarta, CNN Indonesia -- Judul di atas seperti, roti selai nanas atau coklat terpotong-potong. Lalu dibiarkan tergeletak di sebuah piring emas, tanpa ada satu pun berani menyentuhnya. Karena roti selai nanas atau coklat itu pesanan dari tuan moral bernama ‘ajaib’. Entah siapa memamah biak, roti itu raib dalam sekejap. Tak ada tanya atau jawaban.
Ya. Pastilah! Tak ada bertanya. Tak ada jawaban. Ada tanya ada jawaban. Relatif atau logis ataupun non-logis, atau, siapapun memakan roti itu tentu moral hukum paham, bukan sok paham atau pura-pura tak paham. Meskipun cuaca langit berganti-ganti warna di waktu-waktu abstraksi polarisasi cuaca di atmosfer.
Seakan kesepahaman pola, bisa disebut kesepahaman seakan ilmiah atau seakan-akan diilmiahkan dimatematiskan, seakan-akan secara nalar dan konsekuen agar tampak pintar, padahal mencoba pintar berkelit dari jeratan hukum. Di tingkat kepintaran macam itu tergantung pada pola tujuan akhir dari sihir sebuah cita-cita jahat. Apakah akan berakhir di lautan, di hutan atau di pulau-pulau peradaban hukum-hukum positif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Plato telah menyelesaikan ‘susastra apologia’ di hadapan kaum cerdik pandai dengan terbuka tanpa suatu kesenyapan pembuktian terbalik. Sebab, ‘susastra apologia’ bukan manuskrip putar balik fakta-fakta, tapi penyelesaian verbal secara logis kejadian sebuah representasi hiper-perilaku filosof.
Keahlian berpikir jernih seperti bak mandi diletakkan di alam terbuka. Di airnya, semua makhluk bisa berkaca. Siapa kebenaran, putih atau abu-abu, di perhelatan sumbangsih akal budi, benar, logis, faktual, non-degradasi moral acuan bersandar di hukum-hukum positif, moral filsafat. Maka adil tak menjadi kerancuan di siang bolong, bagai fatamorgana menguap.
Kalimat efektif akan menjadi tidak efektif jika ‘menjadi yang’ oleh sebab itu adil memang tak bisa di ‘yang-kan’ seperti roti lapis nanas atau coklat, raib secara ajaib, tanpa malu-malu. Kucing mengeong di atas meja persembahan atas nama. Maka esai memang bukan sejenis roti selai nanas atau coklat.
Ini hanya sebuah lukisan sekapur sirih. Mencoba melihat roti selai nanas atau coklat bagai mahligai terbingkai intan bermutu, bagi gapura ‘adil’ seakan terpotong-potong dalam kausal frasa kata-kata fenomenal di faktual-kan menjadi anak panah tumpul.
Di non-logika-kan pada potongan
out of focus ‘pra-stempel-kan’ dalam tipu daya abrakadabra. Mencoba berkelit setelah memakan roti lapis nanas atau coklat, akhirnya tetap dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Indonesia selalu berseri, senyum, indah, cantik dan damai.
Keputusan kemenangan, bukanlah sebuah keputusan kemenangan pura-pura, tapi hakikat menjadi buah hati rasa syukur bagi ‘suri tauladan’ hukum-hukum, moral, di filsafat tak pernah mati. Salam Indonesia Unit. Konsisten membasmi para durjana korupsi dan narkoba.
(ded/ded)