Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk kreatif dalam mencari pendanaan dan tidak selalu bergantung pada penerusan pinjaman luar negeri pemerintah. Pernyataan tersebut merupakan respon akan kebutuhan PLN mendanai proyek pembangkit listrik 15 ribu Megawatt (MW) senilai US$ 22,5 miliar yang menjadi bagian dari pembangunan megaproyek 35 ribu MW dalam lima tahun ke depan.
"Sudahlah PLN jangan selalu bergantung pada pemerintah, jangan
netek terus sama pemerintah," ujar Scenaider Siahaan, Direktur Strategis dan Portfolio Utang Kementerian Keuangan kepada CNN Indonesia, Jumat (7/11).
Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengaku perusahaannya siap merealisasikan program Pemerintahan Joko Widodo terkait pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu MW. Dari total kapasitas 35 ribu MW, PLN siap membangun 15 ribu MW atau sekitar 42,85 persen. dengan estimasi kebutuhan dana sekitar US$ 22,5 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Scenaider menuturkan mayoritas pendanaan PLN selama ini berasal dari penerusan pinjaman pemerintah atau
Subsidiary Loan Agreement (SLA) dari lembaga keuangan asing. Alur prosesnya, kata Scenaider, PLN mengajukan permohonan SLA kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk dicek kelayakan proyeknya dan diteruskan kepada Kementerian Keuangan untuk negosiasi dengan kreditur asing.
"Tapi setelah komitmen didapatkan, banyak proyek yang tidak bisa direalisasikan. Kalau begitu terus pemerintah jadi tidak kredibel di depan
lender," ujarnya.
Seharusnya, kata Scenaider, PLN melakukan inovasi dalam membiayai proyek-proyeknya dengan memonetisasi aset-aset yang dimiliki. Intinya, PLN perlu bekerjasama dengan swasta guna mengoptimalkan eksekusi proyek-proyek elektrifikasi di Tanah Air.
"Gaji direksi PLN kan besar dibandingkan kami yang PNS, masa begitu saja tidak bisa," ketusnya.
Realisasi Utang PLN Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan melaporkan total pinjaman luar negeri yang dicairkan untuk PLN selama kuartal II 2014 mencapai US$ 47,12 juta, sedangkan ongkos yang harus dibayarkan pemerintah atas keseluruhan pinjaman PLN mencapai US$ 1,2 juta. Secara kumulatif, total biaya yang dikeluarkan pemerintah atas seluruh pinjaman luar negeri PLN dengan kategori
zero disbursed sejak penadatanganan sampai dengan Juni 2014 mencapai US$ 2,15 juta.
Selama kuartal II 2014, terdapat beberapa SLA dari Bank Dunia kepada PLN yang berubah status, yakni 2 SLA mengalami perubahan nilai komitmen atau partial canclletation dan 1 SLA berubah masa berlaku karena telah melewati batas waktu penarikan. Selain itu, terdapat 4 pinjaman luar negeri untuk PLN yang berakhir masa berlakunya, yakni dari Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Berdasarkan catatan DJPU, total SLA kepada PLN per Juni 2014 sebanyak 19 pinjaman, dengan status penilaian bervariasi. Sebanyak 6 pinjaman masuk kategori berisiko, 11 pinjaman berstatus aktif namun belum ditarik sepeserpun dan 2 pinjaman sesuai dengan komitmen penarikan. Di samping itu, terdapat 3 pinjaman yang dinilai belum efektif penggunaannya. DJPU mengingatkan terdapat 2 SLA PLN, yakni dari ADB dan Badan Pembangunan Perancis (AFD), yang akan memasuki batas akhir penarikan pada kuartal IV 2014.