Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) diminta belajar dari kegagalan program percepatan pembangunan pembangkit listrik di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dewan Energi Nasional (DEN) menilai penyederhanaan perizinan, kepastian lahan dan pembiayaan menjadi syarat multak untuk mewujudkan mimpi swasembada listrik di tanah air.
"Belajar dari kegagalan FTP (
fast track program) 1 dan 2 di era SBY, maka berbagai hambatan itu harus direduksi," ujar Anggota DEN Tumiran kepada CNN INdonesia, Jumat (7/11).
Menurutnya semangat Jokowi untuk menambah pasokan listrik sebesar 35 ribu Megawatt (MW) dalam lima tahun ke depan sejalan dengan target jangka panjang listrik nasional sebesar 115 Gigawatt (GW) pada 2025. Namun, sejauh ini kombinasi usaha pemerintah dan swasta baru sanggup memasok 50 GW.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya ada kekurangan 75 GW yang harus dipercepat pemerintah dalam 10 tahun ke depan atau kira-kira 7,5 GW per tahun," tuturnya.
Untuk itu, lanjut Tumiran, dibutuhkan investasi yang sangat besar untuk merealisasikan target ambisius tersebut. Dengan keterbatasan anggaran pemerintah dan modal PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), maka swasta harus diajak bekerjasama. "Karena untuk membangun pembangkit listrik berkapasitas 7 GW per tahun itu kira-kira butuh Rp 105 triliun hingga Rp 120 triliun per tahun," tuturnya.
Tumiran mengatakan untuk membuat investor swasta tertarik dan mau berbisnis listrik, maka yang utama harus dipastikan pemerintah adalah ketersediaan lahan. Bukan hanya menyangkut soal lahan pembangkit, tetapi juga ketersediaan lahan untuk jaringan transmisi listrik wajib dijamin pemerintah.
"Jangan lagi masalah lahan diserahkan kepada entitas operator seperti PLN. Harus ada sentralisasi pengambilan keputusan oleh pemerintah pusat dan daerah," jelasnya.
Produksi KomponenDalam mewujudkan ketahanan energi nasional, kata Tumiran, maka pemerintah juga harus mendorong pembangunan industri komponen pembangkit listrik di dalam negeri. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku impor di bidang elektrik.
"Kalau tahun pertama boleh impor penuh, tetapi secara bertahap harus dikurangi menjadi 50 persen (impor) pada tahun kedua, 75 persen domestik di tahun ketiga, dan 100 persen dalam negeri di tahun keempat," ujarnya.
Tumiran menambahkan pemerintahan Jokowi harus mengevaluasi kembali kelayakan proyek-proyek pembangkit listrik yang dirancang oleh pemerintahan sebelumnya. "Kalau memang sudah sesuai, kenapa tidak dilanjutkan saja. Saya yakin bisa kalau mindset pelaksanaanya benar," katanya.