Tim Reformasi Tata Kelola Migas menyatakan tengah menimbang tiga opsi menyoal keberadaan entitas bisnis PT Pertamina (Persero) di sektor pengadaan minyak impor yakni Pertamina Energy Trading Limited (Petral). Dimana ketiga opsi tersebut meliputi pemindahan Petral ke Jakarta; tetap mempertahankan keberadaannya di Hongkong dan Singapura; dan yang terakhir mengenai wacana pembubaran perusahaan.
"Tapi target saya pribadi, Petral harus pindah ke Jakarta. Pembicaran ini sudah mengerucut ke opsi itu dan akan direkomendasikan ke Pak Sudirman dalam waktu dekat," tutur anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Djoko Siswanto di Jakarta, Minggu (14/12).
Djoko menjelaskan, opsi pemindahan Petral ke Jakarta dimaksudkan dalam rangka menyibak kegiatan bisnis pengadaan minyak impor yang dilakukan oleh anak usahanya yakni Pertamina Energy Service (PES) di Singapura. Asal tahu, Tim memperkirakan Petral memperoleh diskon lebih dari 1,58 persen dari pembelian minyak berkadar oktan 92 atau tak sesuai dengan data yang dilaporkan manajemen dan dinilai merugikan negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, formulasi pembelian minyak berkadar oktan 92 dari Singapura oleh PES menggunakan formulasi 103,37 persen harga MOPS (Mean of Platts Singapore) ditambah biaya pengolahan, distribusi, serta margin Pertamina yang diklasifikasikan kedalam komponen biaya Alfa.
Disamping itu, dengan besarnya perputaran transaksi uang yang diprediksi mencapai Rp 700 triliun per tahun Petral diyakini memperoleh keuntungan triliun Rupiah dan menjadi sumber pendapatan pajak bagi Singgapura dan Hongkong.
"Kalau dipindah ke Jakarta khan, pajak Petral bisa masuk ke Indonesia. Kalau tetap di Singapura dan Hongkong ya larinya pajak bakal kedua negara tadi. Jadi kita rugi dua kali kalau Petral tetap disana," jelas Djoko.
Sebelumnya, Komisaris Pertamina, Susilo Siswoutomo tak mempermasalah wacana pemindahan Petral ke Jakarta hingga opsi pembubaran perusahaan. Meski begitu, Susilo mengingatkan agar rekomendasi yang nantinya akan diputuskan Pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek kepastian pasokan bahan bakar minyak (BBM) ke Indonesia.
"Salah satunya dengan opsi pembelian minyak langsung. Kalau tidak ada jaminan, dari mana kita bisa memenuhi kebutuhan BBM nantinya," tutur Susilo.
Berdasarkan catatan, pada laporan keuangannya pada 2013 kemarin Petral membukukan pendapatan usaha sebesar US$ 33,35 miliar. Dari perolehan tersebut, laba usaha perseroan diketahui mencapai US$ 45 juta. Adapun setelah pengurangan pajak dan sejumlah biaya, laba bersih Petral berada di angka US$ 43 juta.