Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendesak PT Freeport Indonesia segera membangun pabrik pengolahan konsentrat atau
smelter di wilayah Papua. Pemerintah menetapkan syarat tersebut sebelum Freeport melanjutkan rencana kegiatan produksi tambang bawah tanah di wilayah kerja Big Gossan, DOZ, dan Grasberg.
"Kapasitas
smelter yang akan dibangun Freeport di Gresik hanya berkapasitas 1,6 juta ton per tahun, sementara total produksi tambang bawah tanah diperkirakan mencapai 3,2 juta ton. Jadi mereka harus buat
smelter baru dan kami memintanya dibangun di Papua," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar di Jakarta, Selasa (23/12).
Sukhyar mengatakan perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat itu memang sedang membangun
smelter berkapasitas 1,6 juta ton di Gresik, Jawa Timur. Namun hingga kini manajemen Freeport belum menunjukkan kemajuan proyek
smelter Gresik lantaran belum menambah lahan yang cukup luas di wilayah tersebut. Produksi mineral Freeport selama ini sebesar 1,2 juta ton per tahun diolah di
smelter milik Mitsubishi Materials Corp yang juga berada di Gresik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami beri tenggat waktu
smelter Freeport di Papua harus jadi paling lambat 2020. Sedangkan target
smelter di Gresik masih tetap di 2017 sesuai undang-undang. Untuk
smelter Papua, kami perkirakan Freeport bisa membangun
smelter berkapasitas 400 ribu ton per tahun,” kata Sukhyar.
Untuk meringankan biaya investasi
smelter yang diperkirakan menghabiskan dana US$ 1,5 miliar di Papua, Sukhyar mengaku akan mengizinkan Freeport membangunnya berpatungan dengan perusahaan tambang lain yang juga diwajibkan mengolah lebih dulu biji mineral emas dan tembaga sebelum diekspor.
"Ini juga untuk merealisasikan permintaan Pemda (Pemerintah Daerah) Papua yang mau di wilayahnya dibangun
smelter. Nantinya Kami akan mengimbau Newmont, Nusa Halmahera (NHM) dan Gorontalo Mining untuk memasok bahan bakunya," pungkasnya.