Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rumah tangga yang dihidup di sekitar kawasan hutan meningkat 10,25 persen dalam satu dekade terakhir, dari 7,8 juta rumah tangga pada 2004 menjadi 8,6 juta rumah tangga pada 2014. Sayangnya, hampir 80 persen atau sekitar 6,8 juta rumah tangga tidak memiliki kuasa atas areal hutan.
"Berdasarkan survei, jumlah rumah tangga yang tinggal di sekitar kawasan hutan pada 2014 sebanyak 8,6 juta rumah tangga, di mana hanya 20,39 persen di antaranya yang menguasai lahan kawasan hutan," ujar Kepala BPS Suryamin di kantornya, Selasa (23/12).
Suryamin menjelaskan sebanyak 35,35 persen rumah tangga di kawasan hutan yang hidup dengan cara memungut hasi hutan atau menangkap satwa liar. Namun, hanya 18,51 persen yang menjadikan aktivitas memungut hasil hutan dan menangkap satwa liar sebagai pendapatan resmi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebanyak 81,49 persen rumah tangga di kawasan hutan yang sumber pendapatannya bukan dari memungut hasil hutan dan menangkap satwa liar," jelasnya.
Seiring dengan berkurangnya areal hutan, Suryamin mengatakan jumlah rumah tangga yang bercocoktanam secara berpindah di kawasan hutan juga menyusut dari 260 ribu rumah tangga pada 2004 menjadi 242,8 ribu rumah tangga pada 2014.
Sebelumnya, Koalisi Anti Mafia Hutan menyebutkan terdapat
lima peraturan daerah (Perda) yang melegalkan korupsi di sektor kehutanan. Yakni Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam; Qanun Nomor 15 Tahun 2002 tentang Perizinan Kehutanan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam; Perda Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Sumatera Selatan; Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Kabupaten Musi Rawas; dan Perda Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Kota Samarinda.