Jakarta, CNN Indonesia -- Bukan Negara Adidaya namanya kalau setiap kebijakannya tidak berdampak secara global. Tak hanya soal politik dan keamanan, ekonomi Amerika Serikat (AS) juga menjadi daya tarik sekaligus sumber masalah bagi banyak negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Rupiah mengawali pergerakan di bursa tahun ini pada level Rp 12.170 per dolar Amerika Serikat.
Reuters mencatat selama tiga bulan pertama rupiah bergerak fluktuatif dengan arah menguat. Rupiah sempat menyentuh harga tertinggi pada tahun ini, yakni sebesar Rp 11.290 per dolar AS pada 19 Maret 2014.
Memasuki kuartal II 2014, arah rupiah berbalik arah. Langkah Bank Sentral AS atau The Federal Reserve mengurangi stimulus
(tapering off) seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi Negeri Paman Sam membuat rupiah melemah.
Ditambah lagi rencana The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter guna menarik dananya kembali dari perantauan, semakin membuat rupiah tak berdaya menghadapi keperkasaan dolar AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ibaratnya, dolar Amerika pulang kampung," kata Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro.
Kebijakan ekstrim Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga acuan 650 basis poin menarik rupiah terjerembab semakin dalam. Pada pertengahan Desember 2014, rupiah sempat diperdagangkan pada harga Rp 12.930, level terendah sejak 2008.
Bersyukur The Fed menunda rencananya menaikkan suku bunga acuan hingga pertemuan Komisi Pasar Terbuka Federal (FOMC) berikutnya, April 2015, sehingga Rupiah kembali stabil di penghujung 2014.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo memperkirakan realisasi kurs di akhir tahun berkisar Rp 12.500 per dolar AS. Angka tersebut jauh di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014 yang dipatok sebesar Rp 11.600 per dolar AS.
Masalah sebenarnya belum berhenti karena The Fed hanya menunda normalisasi kebijakannya. Risiko pembalikan modal masih tetap ada pada tahun depan sehingga rupiah diprediksi masih akan terdepresiasi. Risiko tersebut yang menjadi dasar pertimbangan Kabinet Kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla mempercepat revisi APBN 2015. Alhasil, rupiah sebagai salah satu indikator pengelolaan fiskal pun direvisi dari Rp 11.900 per dolar AS menjadi Rp 12.200 per dolar AS.