Jakarta, CNN Indonesia -- Apabila harga BBM bersubsidi tidak naik pada 18 November lalu mungkin inflasi punya cerita lain.
Indikator harga barang dan jasa itu awalnya bergerak landai hingga Oktober 2014 mengikuti tren penurunan harga komoditas dunia. Bahkan sempat negatif atau deflasi 0,02 persen pada bulan keempat. Namun dua bulan sebelum pergantian tahun 2014 persentasenya melonjak menjadi 1,5 persen secara bulanan (
month to month) atau sebesar 5,7 persen secara kumulatif Januari-November (
year to date).
“Puncak inflasi itu di bulan Desember, perkiraan kami inflasinya 2 persen hingga 2,2 persen,” ujar Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo, belum lama ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila prediksi bank sentral benar, maka realisasi inflasi pada tahun ini akan menembus angka 7,7 persen. Sementara dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014, target inflasi dipatok hanya 5,3 persen.
Joko Widodo (Jokowi) punya andil besar terhadap peningkatan inflasi di akhir tahun. Belum genap sebulan berkuasa, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut mengambil langkah tak populis dengan menaikkan harga premium dan solar masing-masing sebesar Rp 2.000 per liter mulai 18 November 2014. Kebijakan itu menjadi kontroversi karena dilakukan saat harga minyak mentah di pasar dunia terjun bebas.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan kebijakan ini tak bisa dihindari demi menjaga kesehatan fiskal dan memperbaiki fundamental perekonomian yang rapuh. Menurutnya, beban subsidi BBM di APBN meningkat setiap tahun hingga mendekati angka Rp 800 triliun, jauh lebih besar dari alokasi belanja infrastruktur dan belanja sosial. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya konsumsi premium dan solar yang berpotensi melampaui kuota 46 juta kilo liter di APBNP 2014. Ironisnya, mayoritas pengguna bahan bakar tersebut adalah pemilik kendaraan roda empat yang tak seharusnya menikmati subsidi.
“Jadi kita tidak bicara apakah harganya ketinggian atau kerendahan. Yang kita bicarakan adalah subsidi BBM yang tidak tepat sasaran,” ujar Bambang.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dinilai Bambang sebagai solusi untuk keluar dari perangkap defisit kembar, APBN dan neraca transaksi berjalan. Kebijakan ini diharapkan tak hanya memperbesar ruang fiscal tetapi juga bisa sedikit mengerem impor bahan bakar.
Pemerintahan Jokowi meyakini dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap peningkatan harga barang dan jasa bersifat sementara. Dia memperkirakan inflasi akan kembali stabil pada tahun depan, meskipun tidak serendah target yang dipatok dalam APBN 2015.
Dalam Rancangan APBNP 2015, pemerintah merivisi target inflasi dari 4,4 persen menjadi menjadi 5 persen. Proyeksi inflasi tersebut telah mempertimbangkan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik (TDL).