Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang bongkar dan alih muatan ikan (
transhipment) di perairan Indonesia mendapat protes dari para pelaku usaha. Puncaknya terjadi pada hari ini, Kamis (26/2), ribuan nelayan yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu Pantai Utara (Pantura) berunjuk rasa di depan kantor pusat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta.
Orang asing yang maling, jangan nelayan lokal yang jadi korbanRasmija, Nelayan |
Rasmija (65 tahun), nelayan asal Desa Benda, Kecamatan Juana, Pati Jawa Tengah yang ikut dalam aksi tersebut mengaku geram dengan keluarnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014 tentang pelarangan transhipment di perairan Indonesia. Sebab, sejak kebijakan itu diterapkan, ia harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mengantarkan hasil ikan tangkapanya ke pelabuhan
(check point)."Uang operasional habis hanya untuk beli solar. Padahal sudah tidak ada lagi solar dikasih," kata Rasmija kepada CNN Indonesia saat ditemui di lokasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rasmija, aksi penyelundupan hasil
transhipment ke luar negeri seperti yang Susi duga selama ini jarang terjadi di Laut Jawa, tetapi banyak terjadi di laut wilayah perbatasan negara, seperti Laut Natuna dan Selat Karimata. Rasmija tahu betul karena pernah menjadi anak buah kapal (ABK) kapal asing selama 15 tahun.
"Di perbatasan sana, berton-ton ikan diselundupkan ke Malaysia atau Filipina kalau malam. Mereka pakai bendera Indonesia tapi ABK-nya asing semua, saya hanya jadi operator genset," katanya.
Dia mengatakan jenis ikan yang sering diselundupkan adalah ikan yang menjadi ciri khas Indonesia dan bernilai jual tinggi, seperti ikan tuna dan ikan cakalang.
Karenanya, Rasmija menilai seharusnya Menteri Susi lebih menegaskan aturan larangan dan pengawasan
transhipment yang ketat di zona perbatasan.
"Itu tugasnya Angkatan Laut, orang asing yang maling, jangan nelayan lokal yang jadi korban," kata Sarmidja.
(ags/gen)