Jakarta, CNN Indonesia -- Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai dalam dua bulan pertama 2015 sebesar Rp 21,5 triliun, meleset 33 persen dari target rata-rata harian yang seharusnya Rp 32,2 triliun.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat penerimaan negara dari cukai per 28 Februari 2015 sebesar Rp 17 triliun, jauh di bawah realisasi seharusnya Rp 24 triliun.
Demikian pula dengan setoran bea masuk, yang baru sebesar Rp 4 triliun dari target Rp 6,2 triliun. Kondisi yang sama juga terjadi untuk penerimaan bea keluar, yang baru terealisasi Rp 544 miliar dari target Rp 2 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oza Olavia, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai DJBC menilai wajar jika setoran cukai belum tinggi di awal tahun. Menurutnya, banyak faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya penerimaan cukai.
"Cukai itu sebenarnya fluktuatif. Seperti tahun lalu ada pemilu, penerimaan dari rokok (tembakau) naik. Jadi memang ada hal-hal yang mempengaruhi cukai di Indonesia," jelas Oza di kantornya, Rabu (11/3).
Menurut Oza, 80 persen penerimaan cukai sejauh ini masih didominasi dari cukai hasil tembakau. Oza menilai kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok menjadi rata-rata 8,7 persen sejak awal tahun 2015 menyebabkan para pengusaha memborong pita cukai sebelum tarif baru diberlakukan.
"Dari sisi bisnis bisa-bisa saja, karena memang rata-rata kenaikkan cukai rokok yang 8,7 persen untuk 2015, berlakunya 1 januari. Bisa saja, tapi dominan atau tidak saya tidak tahu. Kenaikkan ini diharapkan bisa mendongkrak penerimaan nantinya," kata dia.
Terkait bea masuk, Oza mengatakan belum tercapainya target disebabkan oleh perekonomian global yang sedang menurun. Sementara menyangkut bea keluar, kebijakan pemerintah membebaskan bea keluar sejumlah komoditas disinyalir menjadi penyebabnya.
"Memang penerimaan bisa dari minerba walaupun terbatas. Karena tidak semua minerba dilarang. Dominan ini karena mineral, kalau kakao tidak," jelasnya.