Jakarta, CNN Indonesia -- Darmin Nasution, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), mendorong Bank Indonesia (BI) melakukan pembelian surat utang negara (SUN) guna menahan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Cara itu dinilai sebagai alternatif jitu menstabilkan rupiah selain hanya ‘membakar’ cadangan devisa.
Bank Indonesia mencatat, kurs tengah rupiah ditransaksikan melemah 0,80 persen terhadap dolar AS pada perdagangan Rabu (11/3). Berdasarkan data BI, kurs tengah rupiah bertengger di level Rp 13.164 per dolar AS, dari poisis hari sebelumnya Rp 13.059 per dolar AS.
“Kebijakan Bank Indonesia tidak hanya melakukan intervensi ke pasar uang dengan menggunakan cadangan devisa. Namun salah satunya adalah dengan melakukan pembelian surat utang negara (SUN),” ujar Darmin di Jakarta, Rabu (11/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Darmin, kebijakan pembelian surat utang negara telah terbukti efektif ketika dia menjabat sebagai Gubernur BI pada tahun 2010-2013.
"Kalau SUN banyak dijual oleh pemilik dana asing dan tidak ada pembeli dalam negeri, harganya nanti akan jatuh dan merembet ke kurs rupiah. Sebenarnya diperlukan beberapa bidang kebijakan untuk itu," ungkapnya.
Darmin juga menyoroti permasalahan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sebagai penyebab depresiasi kurs. Hal ini erat kaitannya dengan investasi yang rendah di Tanah Air.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal empat 2014 masih mengalami defisit sebesar US$ 6,2 miliar atau 2,81 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Defisit transaksi berjalan bukan hanya urusan dagang tetapi juga saving yang lebih rendah dibandingkan investasi kita," imbuhnya.
Lebih lanjut, Darmin membenarkan adanya ekspektasi di pasar yang memperlemah rupiah. Artinya, menguatnya dolar AS bukan semata karena faktor fundamental ekonomi dalam negeri.
"Orang takut, kalau ekonomi AS baik, bunga akan naik sehingga di sini pun ikut naik. Makanya tekanan kurs muncul terus, walaupun sudah Rp 13.000 per dolar AS, dan tidak turun karena karena ada fluktuasi psikologis yang mendorong ke arah situ," katanya.
Menurut Darmin, langkah intervensi pasar apa yang sebaiknya diambil tergantung pejabat pemerintah dan BI yang berwenang saat ini. Efektifitas ombinasi kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tergantung dari kecermatan pengambil kebijakan.
“Kalau intervensi saat ini, itu tergantung pilihan pejabat yang sekarang,” katanya.
Di sisi lain, analis PT Mandiri Sekuritas, John Rachmat menyatakan dirinya menilai Bank Indonesia pada akhir-akhir ini secara jelas berharap untuk melihat pasar mata uang yang lebih kompetitif.
“Dengan harapan pertumbuhan yang kuat di impor barang modal, dan risiko yang ditimbulkan dengan penurunan harga komoditas pada pendapatan ekspor Indonesia, bank sentral telah menandakan masih merasa nyaman dengan penurunan rupiah,” ujarnya.
(ags)