Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat, kembali memicu polemik menyusul pro dan kontra antara pemangku kepentingan di sektor industri dan transportasi dengan operator kilang minyak dan gas (migas). Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya W. Yudha menilai kontroversi dari warisan proyek era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu merupakan gambaran buruknya koordinasi antarkementerian selaku pengambil kebijakan.
"Proyeksinya bagus, tapi kenapa kontroversi? Karena tidak ada koordinasi dan integrasi antara satu sektor dengan sektor lain. Ini penyakit sejak zaman Soeharto," ujar Satya W. Yudha dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (28/3).
Selain proyek Cilamaya, menurut Satya, banyak proyek infrastruktur yang gagal dikembangkan pemerintah, terutama yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Selain karena buruknya koordinasi antarkementerian, juga karena peran swasta lebih besar dari pada pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi saya tidak melihat MP3EI berhasil karena lebih banyak swasta, bukan negara," ujarnya.
Satya menjelaskan, kegiatan eksplorasi migas sudah berkembang di perairan Cilamaya sejak 1971 dan menjadi salah satu area produksi migas dan pemasok energi yang cukup besar di Indonesia. Di bawah perairan Cilamaya membentang platform instalasi produksi dan pipa-pipa distribusi migas sepanjang 100-200 kilo meter yang berisiko terganggu jika pelabuhan jadi dibangun.
"Di situ ada penyangga energi listrik Jakarta, di situ juga ada penyangga lifting minyak, yang kalau ditabrak akan menganggu ekonomi. Kami mendukung Indonesia punya pelabuhan bagus, tapi kepentingan energi juga harus dijaga," katanya.
Untuk itu, Satya mengatakan pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harus memperbaiki konsep perancangan pembangunan nasional agar tidak kontra produktif dan tumpang tindih kepentingan sektoral. Intinya, tegas Satya, pemerintah harus juga memperhatikan kepentingan sektor migas, selain hanya mengutamakan kepentingan industri dan transportasi.
I Gusti Nyoman Wiratmadja, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, menuturkan cadangan minyak di perairan Cilamaya masih cukup besar untuk kurun waktu produksi 30 tahun ke depan. Apabila proyek pelabuhan Cilamaya dilanjutkan, maka banyak sekali tata kelola migas yang harus dibenahi dan dipastikan akan menganggu kegiatan ekspolorasi dan memutus sementara aliran listrik di kawasan Jawa Barat sekitar dua bulan.
"Itu risiko teknis yang harus dialami. Rekomendasi Kementerian ESDM sudah cukup jelas, jangan bangun pelabuhan di wilayah eksplorasi migas. Atau geser 30 kilo meter ke arah Timur melewati Balongan," katanya.
Adolf Richard Tambunan, Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Kementerian Perhubungan, menjelaskan latar belakang pengembangan Pelabuhan Cilamaya adalah karena kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok akan semakin terbatas setelah 2020. Untuk itu, diputuskan untuk membangun pelabuhan alternatif baru untuk menunjang jasa logistik di wilayah Jawa Barat, yang selama ini menguasai 60 persen pangsa pasar nasional.
"Dari sembilan lokasi, mulai dari Bojonegara sampai Ciasem, yang dipilih Cilamaya untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang," tuturnya.
Menurutnya, penyusunan proyek dan penetapan lokasi pelabuhan telah mempertimbangkan berbagai hal dan menjamin tak akan mengganggu kegiatan eksplorasi migas. Adolf menyebut pelabuhan di Houston, Amerika Serikat, sebagai contoh berhasilnya pembangunan pelabuhan internasional di atas instalasi produksi migas.
"Jadi kepentingannya adalah nasional, bukan sektoral," katanya.
(ags/obs)