
Pelemahan Rupiah Pukul Bisnis Ritel Indonesia

Pertumbuhan bisnis ritel Indonesia dipastikan melambat seiring melemahnya daya beli masyarakat akibat kebijakan moneter ketat bank sentral. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRI) mencatat pertumbuhan usaha seluruh anggotanya rata-rata hanya tumbuh 7 persen tahun lalu, jauh di bawah rata-rata pertumbuhan normal 15 persen per tahun.
"Tahun lalu bisnis sekitar Rp 18 triliun, hanya tumbuh 7 sampai 8 persen. Itu hanya anggota kami, kalau total market seperti data BPS itu tiga kali lipatnya," jelas Ketua APRI, Tutum Rahanta di FX Senayan, Sabtu (28/3).
Tutum mengatakan umumnya dalam kondisi normal pertumbuhan bisnis ritel mampu mencapai rata-rata 15 persen per tahun. Namun sejak Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2013, ungkapnya daya beli masyarakat kelas menengah turun sehingga ikut memukul bisnis ritel. Ini tak lepas dari ketatnya kondisi likuiditas pasca penaikan suku bunga acuan sejak tahun lalu. "Kuartal I tahun ini saja kami sudah minus 10 persen," katanya.
Untuk tahun ini, lanjut Tutum, bisnis ritel dinilai masih akan dihantui kebijakan moneter yang ketat berikut pelemahan nilai tukar (depresiasi) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Meski begitu, APRI tetap optimistis industri ritel masih dapat tumbuh 10 persen pada 2015 meski daya beli masyrakat masih berpotensi melemah akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
"Itu sudah mempertimbangkan rupiah dan kenaikan harga BBM. Kalau lihat kuartal I (minus 10 persen) kami pesimistis bisa tumbuh 15 persen," katanya.
Salah Kaprah
Tutum mengatakan sejak Agus D.W. Martowardojo menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, arah kebijakan moneter ia nilai menganut rezim bunga tinggi. Jajarannya pun telah menyuarakan aspirasi agar suku bunga bisa diturunkan demi menjaga daya beli masyarakat sejak Desember 2013. Akan tetapi, himbauan ini nyatanya tidak dijadikan sebagai masukan bagi Mantan Menteri Keuangan tersebut.
"Saat Agus Marto jadi Gubernur BI, dia keluarkan kebijakan untuk kontrol keuangan. Tapi likuiditas terlalu kenceng, maka kelas menengah yang selama ini menopang ekonomi kita daya belinya keserap buat bayar cicilan motor, cicilan rumah, dan habis," katanya.
Sementara pemerintah, lanjut Tutum, tak memiliki kebijakan yang kongkrit sejak dua tahun terakhir untuk benar-benar memberi stimulus ekonomi. Berbagai insentif yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah pun dinilai Tutum hanya sebagai wacana di mulut yang sulit direalisasikan.
"Pemerintah kita sudah salah kaprah. Insentifnya bukan kurang, tapi hanya di mulut dan tidak ada realisasi. Bagi kami cuma satu, turunkan suku bunga," ujarnya menegaskan (dim/dim)
Penuh Ketidakpastian, OECD Minta BI Hati-Hati Tetapkan Bunga
Ekonomi 4 tahun yang lalu
Bank Indonesia: Jaringan Sistem Pembayaran Telah Normal
Ekonomi 4 tahun yang lalu
Utang Luar Negeri Indonesia Naik Jadi US$ 298,6 Miliar
Ekonomi 4 tahun yang lalu
Sovereign Credit Indonesia Diganjar Rating BBB-
Ekonomi 4 tahun yang lalu
Rupiah Melemah, Eksportir Dinilai Belum Bisa Sabet Peluang
Ekonomi 4 tahun yang lalu
Paket Kebijakan Ekonomi Tak Akan Instan Memperkuat Rupiah
Ekonomi 4 tahun yang lalu
Uang Muka Motor dan Mobil Turun Hingga 10 Persen Per Desember
Teknologi • 19 September 2019 20:01
Kasus e-KTP, Agus Martowardojo Penuhi Panggilan KPK
Nasional • 17 May 2019 11:29
KPK Cegah Eks Bos Century Robert Tantular Keluar Negeri
Nasional • 28 December 2018 02:12
Negara Rugi Rp8 T, KPK Janji Tuntaskan Kasus Bank Century
Nasional • 21 November 2018 23:03
'Curhat' Bos Softbank Pakai Insting dan Nyali Suntik Alibaba
Ekonomi • 1 jam yang lalu
Bank Dunia Akan Kurangi Pinjaman ke China
Ekonomi 1 jam yang lalu
Gebrakan Erick Thohir Jadi Katalis Positif Bagi Saham BUMN
Ekonomi 2 jam yang lalu